Gedung FISIP II UPN “Veteran” Jawa Timur pagi itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang di lobi bak seorang peraga busana. Ada yang mengenakan seragam TNI, kostum pramugari, hingga kain jarik dan bakul jamu. Di antara lautan mahasiswa, para dosen pun tak ketinggalan tampil nyentrik. Ada yang berdandan sebagai “Bedak Marks”, tokoh rekaan yang dipercaya bisa menyebar tawa, ada pula yang tampil syar’i sambil membawa spanduk “Barbie Syar’i”. Semuanya hadir dalam satu nama: COMMFEST 2025.
Festival komunikasi tahunan ini kembali digelar dengan semangat baru. Tema yang diusung tahun ini juga berbeda dari biasanya “The Power of Brand: Career and Identity”. Sebuah trilogi yang ada di tengah zaman penuh citra digital dan kebingungan karier terasa begitu relevan.
Namun, COMMFEST tak hanya sebuah pesta tanpa arah. Ia menjelma menjadi ruang perayaan, tempat mahasiswa berdansa dengan gagasan, tertawa bersama kostum-kostum simbolik, dan menyusun mimpi lewat pameran, penampilan, hingga sekat-sekat booth.
Di sepanjang deretan tenant dan kerumunan penonton, tiga perempuan berdiri percaya diri. Wajah mereka dihias riasan ala dukun, lengkap dengan penutup kepala dan dupa mainan di tangan. Nama grup mereka: Dukun Simpang 3. “Ini bukan soal profesi,” kata salah satu dari mereka, tertawa. “Ini tentang alter ego kami. Kadang mahasiswa juga butuh jadi absurd biar tetap waras.”
Begitulah COMMFEST bekerja. Ia tak menawarkan jawaban tunggal soal identitas, tapi memberi ruang berekspresi.
Di tempat lain, seorang perempuan mengenakan seragam TNI Angkatan Laut. Ia bukan taruni, bukan pula anak militer. Tapi waktu SMA, ia pernah bermimpi jadi tentara, impian yang kandas karena kondisi keluarga. Kini, ia mengenakan kembali impian itu, bukan untuk nostalgia, tapi semacam penegasan bahwa mimpi yang tak tercapai pun tetap layak dihormati.
Lalu ada mahasiswa lelaki yang mengenakan baju polisi lalu lintas. Alasannya? “Soalnya ini doang yang ada di rumah.” Yang mendengar sontak tertawa, tapi di situlah sisi COMMFEST yang paling membumi. Identitas bisa datang dari mimpi, bisa juga dari hal remeh dan semuanya valid.
Booth-booth mahasiswa berderet di koridor kampus, seperti pasar ide yang hidup. Mulai dari ujung barat hingga ujung timur berjajar booth mahasiswa yang memamerkan hasil instalasi visual yang dipadukan dengan tema budaya pop dan poster akademik. Terlihat pada sekat-sekat booth mahasiswa, tempat sekelompok mahasiswa mengaplikasikan ide-ide unik mereka. Di antara keramaian, terdengar mahasiswa bersahutan menjelaskan konsep branding booth mereka, hingga mengajak pengunjung mencoba simulasi interaktif.
Di panggung, pertunjukan bergantian datang dan pergi. Musik akustik, penampilan tarian daerah, pertunjukan drama tentang psikologi komunikasi.
COMMFEST bukan sekadar cosplay atau peragaan busana. Ini menjadi panggung yang unik, tempat dosen dan mahasiswa menampilkan versi terbaik (atau terliar) dari diri mereka sendiri.
Ada yang datang dengan pakaian ala pramugari, lengkap dengan topi pramugari berwarna merah dan senyum profesional. “Pekerjaan Pramugari ini menjadi salah satu pekerjaan yang memiliki resiko kerja yang tinggi, tapi di sisi lain tetap harus mengutamakan kepentingan dan keselamatan orang lain, dan di situasi apapun tetap mengutamakan komunikasi empati yang seperti kita pelajari di Prodi ini,” katanya.
Ada yang memilih tampil sebagai tukang jamu. “Karena saya suka lihat simbah-simbah lewat depan rumah. Mereka kuat, sederhana, dan jujur,” ujar sang mahasiswi.
Di luar sisi estetis, semua kostum ini membawa pesan. Bahwa identitas tak melulu soal gelar atau masa depan ideal. Kadang, ia lahir dari kegagalan, humor, atau bahkan kenekatan. COMMFEST membuktikan bahwa “branding” bukan hanya urusan perusahaan, tetapi manusia juga bisa menunjukkan siapa dirinya ke dunia, dengan cara yang jujur dan jenaka.
Di balik pesta warna dan tawa yang mengalir sepanjang hari, ada sesuatu yang lebih dari sekadar seru-seruan. Di COMMFEST, setiap kostum, booth, hingga karya yang dipamerkan, bukan hadir tanpa makna. Mereka membawa pesan, kadang terselip diam-diam, kadang disampaikan dengan bangga.
Salah satu hal yang paling terasa adalah bagaimana mahasiswa dan bahkan para dosennya membawa konsep brand, karier, dan identitas menjadi sesuatu yang personal. Tidak selalu harus tentang profesi besar, gaji besar, atau jalan hidup ideal.
Bagi sebagian orang, kostum adalah representasi dari mimpi. Bagi yang lain, itu adalah cara mereka berdamai dengan realitas. Ada yang ingin menunjukkan sisi lucu dari dirinya, ada juga yang ingin menghidupkan kembali cita-cita yang sempat tenggelam. Semuanya sah. Semuanya valid.
Karena di dunia yang penuh standar dan tuntutan untuk “jadi sesuatu”, COMMFEST memberikan ruang: untuk jadi diri sendiri, untuk gagal, untuk jadi aneh, untuk tampil beda, dan tetap diterima. Dari booth hingga performance, dari kostum lucu hingga diskusi santai, tiap detik yang berlalu di festival ini terasa seperti pengingat, bahwa menjadi otentik itu penting dan itu tidak perlu menunggu nanti.
COMMFEST bukan sekadar acara kampus. Ia terasa lebih mirip upacara kecil bagi identitas, semacam tempat untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, lalu tertawa ke luar. Ia tidak menawarkan template sukses, melainkan panggung untuk mengeksplorasi.
Dan yang paling terasa adalah ia menghapus sekat antara siapa yang belajar, siapa yang mengajar, siapa yang sedang mencoba bertumbuh.
COMMFEST 2025 membuktikan bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat menegaskan siapa kita, dan siapa yang ingin kita jadi. Dan seperti semua pertunjukan yang baik, ia bukan tentang akhir cerita, tetapi tentang bagaimana kita pulang dengan lebih banyak pertanyaan dan rasa ingin tahu.
Penulis: M. Zaidan Abiyyu Ro’in