DALAM gelapnya malam, layar bioskop menayangkan sosok perempuan muda yang berjalan perlahan di pemakaman Jawa. Suara gamelan pelan mengiringi. Tiba-tiba, suara bisikan terdengar: “Gowok… Gowok…”.
Bagi sebagian penonton, ini mungkin sekadar horor. Tapi bagi para peneliti budaya dan seksualitas, film Gowok adalah bahan diskusi yang lebih dalam dari sekadar takut-takutan.
Film Gowok menarik perhatian penonton dengan atmosfer horor khas Jawa yang kental. Di balik bayangan pocong dan suara-suara di malam hari, film ini membuka ruang diskusi lebih luas: tentang sains ketakutan yang mempengaruhi tubuh kita saat menonton horor, tentang konstruksi budaya mistis yang sering menjadikan tubuh perempuan sebagai sumber ketakutan, dan tentang hak perempuan atas kenikmatan tubuh mereka sendiri, termasuk orgasme, yang kerap dilupakan dalam budaya patriarki.
Dalam film Gowok, penonton disuguhkan visual khas horor jawa dengan suara-suara misterius, angin yang berdesir tiba-tiba, hingga penampakan samar perempuan berambut panjang.
Cerita tentang Gowok, perempuan simpanan yang meninggal sebelum menikah atau sebelum “tuntas urusannya”, telah lama menjadi cerita rakyat yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa sebagai arwah gentayangan yang meminta pemenuhan hasrat terakhir.
Penonton diberikan pandangan secara visual, Gowok menggunakan palet warna hangat, dominasi tata cahaya remang, dan musik latar tradisional untuk membangun atmosfer masa lalu.
Sinematografi memanfaatkan teknik framing sempit, close-up wajah, dan komposisi ruang yang intim, sehingga membentuk kesan personal pada adegan-adegan interpersonal yang berkaitan dengan relasi seksual, spiritualitas, dan pengasuhan karakter.
Penggunaan slow camera movement dan simbol visual seperti tirai, bayangan tubuh, dan benda-benda ritual memberi penekanan bahwa narasi seksualitas dalam film ini bersifat simbolik, bukan eksplisit.
Teknik ini berperan penting dalam membedakan film dari genre erotik, dan menekankan posisi seksualitas sebagai bagian dari pendidikan budaya, bukan eksploitasi tubuh.
Dalam film Gowok dibawakan karakter utama dalam film ini. Ratri, diperankan dalam dua fase usia oleh Alika Jantinia dan Raihaanun. Ia ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang mengalami transformasi peran: dari anak didik menjadi pengajar dalam sistem gowok.
Karakter Nyai Santi berperan sebagai mentor, sedangkan Kamanjaya dan putranya Bagas menjadi representasi dua generasi laki-laki bangsawan yang menjadi “murid” dalam sistem tersebut.
Struktur karakter mengikuti pola naratif klasik: pengkhianatan, perjalanan personal, dan pertemuan kembali dalam konteks berbeda. Namun yang menjadi sorotan adalah bagaimana karakter perempuan difungsikan dalam narasi sebagai figur pendidik, penyembuh, dan penjaga nilai, sementara karakter laki-laki berperan sebagai pewaris, pelanggar, dan objek transformasi.
Dalam keremangan budaya Jawa yang sarat simbol, nama Gowok mengalir seperti bayangan tak terlihat sepenuhnya, tapi terasa mengendap dalam ingatan kolektif.
Di satu sisi, ia hidup dalam cerita rakyat dan bisik-bisik kampung. Di sisi lain, tubuh perempuan menjadi panggung utama tempat mitos itu mendarat, menyelinap, lalu mengendap menjadi tabu.
Film Gowok memvisualisasikan ketakutan ini dalam bentuk suara, penampakan samar, dan simbol-simbol mistis. Namun jarang kita sadari, ketakutan ini tumbuh dari konstruksi sosial yang membuat tubuh perempuan dianggap tabu, sehingga saat terjadi penyimpangan (seks di luar nikah, perselingkuhan, hubungan tidak sah), perempuan dianggap membawa ketakutan.
Tetapi siapa sebenarnya Gowok itu? Apakah ia benar-benar makhluk halus, atau sebenarnya representasi dari ketakutan sosial terhadap tubuh perempuan dan hasratnya? Sains modern menyebutkan bahwa orgasme perempuan bukan hanya real, tapi juga punya peran penting dalam kesehatan fisik dan emosional.
Namun, survei global menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang tidak pernah mengalami orgasme atau tidak berani mengakuinya.
Film seperti Gowok memicu pertanyaan penting: kenapa dalam banyak cerita, orgasme perempuan harus dibungkus teror, kesurupan, atau kematian?
“Karena ketika perempuan menikmati tubuhnya sendiri, sistem patriarki merasa terancam,” ujar Nurul Arifah, aktivis feminis dan pendiri komunitas edukasi seks Sadar Tubuh. “Tapi kita butuh narasi baru: perempuan tidak harus dihantui untuk bisa merasakan kenikmatan.”
Film ini menghadirkan relasi gender yang kompleks. Tokoh perempuan ditempatkan sebagai pemegang pengetahuan tubuh dan relasi seksual, namun dalam struktur naratif, mereka tetap berfungsi dalam kerangka melayani pembentukan laki-laki.
Perempuan berperan sebagai fasilitator transformasi, tetapi otonomi personal mereka masih dibingkai dalam relasi terhadap laki-laki. Film ini mengangkat isu gender melalui tubuh sebagai ruang pengetahuan dan politik, namun tidak sepenuhnya membebaskan perempuan dari posisi simbolik.
Hal ini menunjukkan bahwa meski film mengangkat kekuatan pengetahuan lokal perempuan, posisi subjeknya masih berada dalam negosiasi antara peran tradisional dan keinginan modern untuk merdeka secara identitas.
Saat menonton film horor seperti Gowok, otak melepaskan adrenalin, norepinefrin, dan dopamin, hormon yang sama terlibat dalam respons fight-or-flight. Inilah alasan detak jantung kita meningkat, telapak tangan berkeringat, dan perasaan lega muncul setelah adegan seram selesai.
Penelitian Frontiers in psychology (Scrivner, 2021) menunjukkan bahwa penonton horor yang menikmati ketakutan sebenernya sedang mendapatkan semacam latihan emosional. Otak merasa “aman tapi terancam”, memicu sensasi intens yang membuat kita ketagihan menonton horor.
Aktivitas otak saat mengalami orgasme memiliki kesamaan dengan aktivitas otak saat merasakan ketakutan intens? Prause & Pfaus (2015) menemukan bahwa saat orgasme, bagian otak yang berkaitan otak yang berkaitan dengan kontrol, rasa takut, dan kesenengan aktif bersamaan, menciptakan pengalaman puncak yang kompleks.
Sayangnya, banyak budaya masih menempatkan orgasme perempuan sebagai hal tabu. Film seperti gowok menyoroti tubuh perempuan dari sisi ketakutan dan kutukan, tetapi kita bisa membalik narasi ini menjadi edukasi bahwa perempuan juga berhak menikmati tubuh mereka, berhak orgasme, dan berhak mendapatkan edukasi kesehatan seksual yang layak.
Gowok: Kamasutra Jawa menyatukan tradisi, politik tubuh, dan sinematografi dalam satu narasi yang membongkar ulang relasi kuasa, gender, dan maskulinitas dalam sejarah Indonesia.
Melalui pendekatan visual simbolik dan pengisahan yang berbasis budaya lokal, film ini menjadi contoh sinema kontemporer yang mengangkat isu sosial tanpa kehilangan kedalaman estetis dan nilai antropologis. (Penulis: Livia Anjarwati, Arvin Fernanda Saputra)