Oleh : Novi Adavid
PASAL 25 Ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 telah mengatur perkara ini (kotak kosong). Disebutkan jika, kotak kosong mendapatkan suara lebih banyak dibanding pasangan calon tunggal, pemilihan baru bisa diadakan kembali dipilkada serentak periode berikutnya. Frasa “PERIODE BERIKUTNYA ” ini berarti
“tahun berikutnya” atau sesuai jadwal yang ditetapkan undang undang.
Dalam hal ini “periode berikutnya” merujuk pada tahun 2020 sebagaimana yang disebutkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016. Meski masih punya kesempatan, hal ini menjadi cambuk bagi sistem demokrasi di indonesia yang
seolah sistem demokrasi di negara ini gagal dalam hal kontestasi memilih pemimpin (Daerah), calon tunggal (kotak kosong) istilah lain sudah pernah terjadi pada pilkada tahun 2015. Meski KPU mengupayakan perpanjangan untuk munculnya calon lain, 7 daerah di Indonesia masih menyisakan calon tunggal dalam penyelenggaraan Pilkada 2015. Saat itu MK mengijinkan suatu daerah memiliki
calon tunggal dengan syarat mengupayakan calon lain dalam waktu 3 hari (1/10/2015, VivaNews). Pada pilkada 2018 ini, hampir seluruh daerah di Banten memiliki calon tunggal. Para calon ini umumnya petahana atau kerabat dari petahana tersebut. Hal ini bukan hal baru bahwa demokrasi malah menjadi
ladang lahirnya jejaring kekerabatan atau dinasti.
Dalam demokrasi langsung seperti dijumpai di Jerman dan Romawi Kuno, prinsip demokrasi begitu terbatas. Robert Dahl mengatakan bahwa tidak ada demokrasi yang ideal didalamnya tetap saja terdapat hal-hal yang tidak demokratis. Seperti model pemiliham kepala daerah langsung dan tidak
langsung, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan tersendiri. Melihat kebelakang, kita menyadari bahwa pemilihan kepada daerah langsung merupakan tuntutan Reformasi pada pasca orde baru yang berupaya mengubah system politik sentralistik menjadi desentralistik.
Jazim Hamidi mengatakan makna filosofis yang dapat dipelajari dari pilkada langsung adalah berkaitan dengan hadirnya individu yang memiliki hakekat sebagai kekuatan yang benar-benar otonom. Baik dalam konteks menggunakan hak pilihnya termasuk juga untuk mengambil pilihan dengan tidak menggunakan hak politiknya. Artinya keterkaitannya sebenarnya terletak pada kedaulatan yang berada
sepenuhnya ditangan rakyat. Sehingga kehadiran masyarakat benar-benar menjadi stakeholder utama dari proses politik dalam pilkada. Salah satu penyebab lahirnya calon tunggal adalah kalkulasi rasional jika ada petahana yang menjadi
calon kuat. Prediksi semacam itu hadir dari perhitungan biaya yang lebih besar. Pada prosesnya, calon yang kemudian hancur sebelum berkembang ini menyadari hal tersebut sejak tahap pencalonan yang sudah menelan biaya yang sangat tinggi seperti mahar partai politik. Dalam persoalan ini, partai politik tidak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab tradisi partai berbasis iuran anggota sudah punah sejak era Orde Baru. Maka kemudian partai yang hanya berbasis modal pengusaha dianggap lebih mudah, singkat dan yang tidak pernah diulas; justru akan menggerogoti system loyalitas partai dari dalam.
Selama proses itu berlangsung, seperti pendaftaran calon, rapat anggota partai, deklarasi calon, penguatan partai hingga vendor penyelenggaran politik dilakukan oleh anak muda. Namun sangat ironi bahwa tiada calon anak muda diluar kerabat keluarga pemilik partai yang dihasilkan dari pendidikan atau kaderisasi partai tersebut. Kebanyakan adalah anak muda yang notabenenya adalah kerabat atau anak dari petinggi partai yang itu-itu saja. Menghadapi hal demikian, kita tidak bisa menyebut bahwa anak muda tidak memiliki partisipasi yang besar terhadap pilkada. Peran mereka sangat besar, namun mereka hanya dijadikan pekerja bagi terselenggaranya pemilihan Kepala Daerah. Apabila kita kembali pada pengertian bahwa penyelenggaraan pemilihan kepada daerah adalah sebuah pesta demokrasi, maka ini adalah pesta tertutup, dimana kita sebagai pemilih muda (pemuda yang berniat memimpin
daerah) adalah peserta yang seolah tidak dianggap selama proses berlangsung.(*)