Mengenang Sultan Ageng Tirtayasa (6): Kebangkrutan Bisnis Lada

0
296

Oleh: Moh Ali Fadillah*

ANOMALI memang, ketika para ‘punggawa’ memegang kekuasaan eksekutif tertinggi di sebuah monarki. Tetapi faktanya periode perwalian itu berlangsung cukup lama, sekurang-kurangnya telah dua kali suksesi, dan memberi peluang pada golongan ‘warga biasa’ untuk mengambil peran politik dominan. Namun ketimpangan ini membuat kerabat dinasti menyadari bahwa kemajuan bisnis lada hanya menguntungkan pihak asing. Beberapa dari mereka mencoba mengambil kekuasaan di bawah kepemimpinan Ranamanggala yang menganggap perdagangan lada sebagai sumber konflik dan bahkan penyebab utama ‘perang sipil’.

Sejak keberhasilannya memegang jabatan ‘wali-raja’, Ranamanggala segera memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan perdagangan di seluruh teritorial Banten dan mewajibkan penduduk untuk kembali menanam padi dan umbi-umbian akibat ketidakmampuan negara menyediakan bahan pangan. Keputusan yang tak populis itu amat dirasakan akibatnya oleh hampir seluruh populasi Banten, karena dengan tangan besinya ia memerintahkan untuk membabat habis tanaman lada.

Tentu saja perubahan orientasi ekonomi yang dioperasikan tanpa pertimbangan matang itu membawa konsekuensi dramatik terhadap populasi secara keseluruhan. Konflik sosial di perkotaan pun tak dapat dihindarkan. Kronik sejarah Banten dan beberapa sumber Belanda menyebut peristiwa itu dengan Geger Pailir (huru hara di hilir sungai). Gejalanya tampak pada penurunan produksi lada secara tajam selama beberapa tahun. Memang, masih ada sejumlah petani yang tetap menjual lada secara sembunyi-sembunyi, tetapi harga lada di pasaran amat rendah. Bisnis lada tak lagi menguntungkan.

Kebangkrutan bisnis lada semakin nyata. Menginjak tahun 1618, harga sekarung lada masih berkisar antara 5,5 dan 6,5 real, tetapi setahun sesudah kampanye pencabutan pohon lada (1620), harga di pasaran jatuh menjadi 0,75 real, bahkan tiga tahun kemudian hanya 0,5 real. Akibatnya sangat fatal, sekitar 6000 pedagang terpaksa meninggalkan Banten dan mencoba peruntungan baru di kota Batavia yang baru saja dibangun oleh VOC pada 1612.

Menghadapi kebijakan itu, dan akibat yang ditimbulkannya, seluruh elemen masyarakat menuntut Ranamanggala segera melepaskan jabatan sebagai ‘wali raja’, dengan harapan Banten dapat kembali ke sistem ekonomi lama. Tahun 1624, Ranamanggala menyerahkan kekuasaan kepada putera mahkota yang sudah dewasa (28 tahun), tetapi kenaikan tahta Abdul Kadir yang ditunggu-tunggu bukan sesuatu yang cepat menyelesaikan masalah.

Beberapa pendatang asing mencatat, betapa penduduk tidak sanggup lagi mengikuti perubahan-perubahan yang begitu radikal. Kesengsaraan penduduk diperparah lagi oleh epidemi yang melanda Banten tahun 1625. Menurut saksi Belanda, selama 5 bulan, sepertiga penduduk kota musnah. Situasi politik semakin memburuk, ditambah lagi dengan blokade jalur laut oleh VOC untuk memastikan perjanjian monopoli, dan adanya tekanan Mataram dengan politik unifikasi seluruh Jawa yang menuntut pengakuan Banten atas kedaulatan raja Jawa tahun 1626.

Krisis kepercayaan segera dialami pemerintah Banten, seperti ditandai oleh pengabaian menanam lada kembali. Sebagian besar penduduk sudah terlanjur melanjutkan usaha pertanian mereka dengan mencoba membuka lahan baru dan irigasi untuk padi dan tebu. Anjuran pemerintah untuk kembali menanam lada menjadi tidak efektif. Tetapi sejak tahun 1636, untuk kesinambungan kerajaan, pemerintah Banten memaksa penduduk untuk kembali menanam lada.

*Sejarawan, Pendiri Banten Heritage