SEJUMLAH bencana seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan tsunami, selama 2018 menegaskan posisi Indonesia sebagai negara rawan bencana. Pemerintah dan masyarakat diharapkan bersinergi untuk melakukan mitigasi bencana dan antisipasi untuk menghindari jatuhnya korban.
Berbagai bencana alam yang menyelimuti Indonesia beberapa bulan terakhir ini, mendorong banyak pihak untuk meningkatkan edukasi dan mitigasi bencana pada masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana agar semakin paham dan mampu bertindak menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.
Menurut Basuki Broto Martono, anggota kelompok usaha bersama nelayan Muncar, Banyuwangi, keterlibatan masyarakat dalam hal edukasi dan mitigasi sangat penting untuk memastikan keselamatan ketika terjadi bencana.
Ditambahkannya, meski belum secara menyeluruh dilakukan, upaya sosialisasi pengetahuan kebencanaan telah mulai dilakukan oleh masyarakat, terutama di daerah rawan bencana seperti di kawasan pantai.
“Waktu kami melakukan forum pengajian itu ada waktu kira-kira lima menit, tujuh menit, kita isi untuk melakukan suatu warning-warning keamanan, ketertiban lingkungan, juga mengantisipasi dari bencana, ini masih diantara saja, komunitas itu saja,” papar Basuki.
“Kalau sementara ini dari kelompok di daerah, yang saya ketahui itu peran aktifnya tim pendamping PKH (program keluarga harapan) dan TKSK (tenaga kesejahteraan sosial kecamatan), dia eksis, support ketika ada bencana alam, kemudian juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat secara langsung, karena mereka langsung bersentuhan dengan masyarakat.”
Nelayan Tahu Sistem Peringatan Dini Bencana
Sistem peringatan dini bencana alam, khususnya gempa dan tsunami telah dipasang di beberapa tempat. Meskipun sebagian besar tidak lagi berfungsi, nelayan di Muncar, Banyuwangi, mengetahui persis letaknya. Basuki memastikan, nelayan telah cukup mendapatkan informasi mengenai keberadaan alat itu, sehingga ikut menjaga dan tidak mengganggunya.
“Himbauannya bahwasannya kalau menemukan alat itu jangan sampai diganggu, itu yang menjadi himbauannya. Insya Allah, nelayan tahu itu. Khususnya nelayan Muncar ya, meski pun mereka pendidikannya rendah. Insya Allah mereka mengerti, tidak mengutak-atik,” kata Basuki.
Pentingnya peran alat pendeteksi tsunami dan gempa ini dibenarkan oleh Amien Widodo, seorang pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Ada 22 alat deteksi tsunami yang sejak 2012 lalu tidak lagi berfungsi. Indonesia, ujar Amien Widodo, memerlukan alat deteksi dini tsunami dan gempa, sebagai antisipasi dan upaya untuk mencegah jatuhnya korban jiwa akibat bencana.
“Tidak ada semua, tidak ada, ya adanya, ya tadi (alat milik BMKG dan BPPT), buoy (alat pendeteksi tsunami) itu karena dari luar negeri semua, diberi, bukan buatan sendiri. Jadi diberi oleh Inggris, ada Amerika serikat, ada Jepang, ada China, ada Jerman,” kata Amien.
“Setelah tsunami di Aceh itu (mereka) memberi, dipasang di berbagai tempat di Indonesia. Pemerintah Indonesia nanti kalau misalnya perawatan (alat) per-bulan itu (diharapkan) mengundang mereka, mengganti baterainya, nah seperti itu. Indonesia tidak melakukan perawatan itu, ya otomatis mati,” paparnya.
Banyuwangi Belajar dari Tsunami 1994
Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu daerah terluas di Jawa Timur, yang memiliki garis pantai terpanjang di provinsi ujung timur Pulau Jawa. Wilayah pesisir Banyuwangi pernah dilanda tsunami pada 1994 yang lalu, sehingga kawasan ini juga termasuk sebagai daerah rawan bencana.
Namun menurut Amien Widodo, masyarakat setempat telah memiliki pemahaman atas suatu bencana serta bagaimana menyikapinya, sehingga mampu menyelamatkan diri serta meminimalisir jatuhnya korban meninggal.
“Masyarakat juga harus dilatih mengenal tanda-tanda, misalnya di tahun 1994, tsunami di Banyuwangi, beberapa orang bisa selamat karena pada waktu itu posisinya bangun dia mendengarkan ada suara seperti helikopter lewat, dia melihat ke luar ternyata ada air yang meninggi sehingga dia bisa lari segera,” kata Amien.
“Di beberapa tempat, karena air laut surut menyebabkan di situ ada bau endapan pantai, baunya sangat menyengat karena banyak mengandung sulfur, bau belerang. Kadang di beberapa tempat itu dia bisa membuat ledakan, pada waktu air laut surut tadi itu kan membuka dasar pantai tadi sehingga gas metana yang ada di situ keluar dan itu bisa menimbulkan ledakan,” ujarnya.
Bencana tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung pada akhir 2018 lalu, merupakan kejadian bencana yang tidak didahului adanya tanda-tanda.
Amien Widodo mengatakan, peristiwa bencana seperti tsunami harus menjadi pelajaran dan kesiagaan masyarakat dan pemerintah daerah, untuk melakukan mitigasi dan mengantisipasi kejadian serupa tidak sampai menimbulkan korban serta kerusakan yang parah.
“Kalau untuk orang Banten, ini kesempatan mereka untuk memetakan kawasan yang rawan tsunami. Kan, ada jejaknya itu, oh sampai berapa meter dia (air laut) masuk ke daratan. Nah itu ditandai saja bahwa itu adalah daerah rawan tsunami yang pernah terjadi,” kata Amien.
“Juga harus dilihat bahwa rumah-rumah yang masih utuh, kan saya lihat banyak juga rumah yang utuh, ya itu yang dipakai nanti. Terus, ketinggian tsunaminya berapa itu harus diketahui oleh mereka, sehingga mereka misalnya mau membuat di sini ya harus membuat rumah panggung diatas (ketinggian) gelombang itu,” ujar Amien menambahkan.
Redaktur : A Supriadi
Sumber : VOA Indonesia