Kerbau Dalam Tradisi Banten (Edisi 3 – 7)

0
1983

Persepsi masyarakat tentang kerbau

Dikenalnya sistem religi sering diasosiasikan dengan periode transisi antara prasejarah dan era sejarah. Bukti fisik berkembangnya sistem kepercayaan dapat dilacak pada hasil-hasil kebudayaan batu besar, yang lazim dikenal sebagai megalithic culture, dimanatradisi membangun batu-batu besar begitu masif. Menariknya, dalam ritual itu prosesi pengurbanan hewan menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan kerbau merupakan salah satu hewan persembahan dalam ritual potlacht.

Dalam sistem kepercayaan prasejarah, kerbau dipandang sebagai sumber kekuatan magis yang mampu mengusir dan menolak kekuatan jahat, sehingga itulah sebabnya kerbau banyak digunakan sebagai hewan kurban dalam ritual pagan (ancestor worship). Tradisi ini sampai sekarang masih terus berlangsung seperti pada masyarakat Nias, Flores, Sumba, Toraja dan juga di Tenganan, Bali, apakah itu terasosiasi dengan ritual di sekitar kompleks megalitik ataukah dalam rangkaian upacara siklus hidup.

Beberapa bangunan megalitik di Banten juga menunjukkan asosiasi kuat antara kerbau dan manusia seperti halnya ditemukan pada situs Cihunjuran, Pandeglang berupa menhir, kemudian pada situs Citaman berupa kompleks Batu Gong, di Cipeucang terdapat dolmen (batu ranjang). Tetapi tradisi yang masih terus dipertahankan sekurang-kurangnya sampai tiga dekade terakhir terdapat di situs Gunung Cupu, Kecamatan Cimanuk, dimana ritual memotong kerbau masih dilangsungkan di sekitar situs tersebut.

Jejak etnografis kerbau di Banten memang mengalami transformasi sekarang, namun perubahan budaya itu kenyataannya tidak sama sekali mengubah persepsi masyarakat secara keseluruhan. Beberapa fakta menunjukkan masih adanya hubungan kuat itu. Pertanyaan mengapa dalam tarian magis Dzikir Saman digunakan perangkat kipas dari kulit kerbau, adalah sesuatu yang “tidak biasa” menurut konteks fungsional. Demikian pula pada hampir setiap ada perayaan semisal syukuran (selamatan) suatu keberhasilan atau menghadapi musibah, kerap orang menandainya dengan menyembelih kerbau. Lebih-lebih pada perayaan Iedul Adha di mana orang dianjurkan untuk turut merayakannya dengan berkurban. Dan sekali lagi, sebagian besar masyarkat Banten sesungguhnya lebih suka memilih kerbau, ketimbang sapi. Maka penjelasan dalam konteks spritual diperlukan untuk memahami persepsi masyarakat tentang kerbau.

Tetapi lain halnya dengan anggapan sebagian masyarakat tentang kelainan fisik seekor kerbau. Bahwa di daerah Banten, terlepas dari ketiadaan alasan ilmiah, masih ada kerbau yang dianggap “keramat” seperti apa yang disebut kebo dungkul; konon kerbau albino yang sepasang tanduknya menggantung dianggap memiliki “tuah” yang dapat membawa “hoki” bagi pemiliknya. Namun lebih ekstrim lagi, apabila tanduk kerbau bule itu sampai melingkar dan kedua ujungnya bertemu secara simetris di bagian bawah leher, biasa dijuluki kebo dungkul kalung, selain kerbaunya sendiri dianggap “keramat”, konon air seninya pun dijadikan semacam obat bagi penyakit tertentu.

Terasosiasi atau tidak dengan persepsi di atas, fakta lain sedikit memberi gambaran. Misalnya dengan kerbau bule warisanKasunanan Surakarta di kompleks alun-alun Kota Solo. Pada setiap hari raya, orang beramai-ramai memberi makan untuk memperoleh berkah dari kerbau “keramat” itu. Begitu juga dengan “kerbau sorga” dalam kepercayaan orang Toraja melaluite’dong bonga? Data etnografis ini mungkin komparatif dengan persepsi orang Banten tentang Ki Dungkul Kalung?
Persepsi lain tentu saja masih hidup di daerah Banten. Di beberapa desa pedalaman Banten masih ada anggapan bahwa kerbau dapat dijadikan ukuran kekayaan seseorang. Itu sebabnya, kerbau bisa menjadi “mas kawin”. Prestise status sosial yang didasarkan pada kuantitas kepemilikan kerbau menunjukkan tradisi yang cukup tua. Tampaklah dalam hal ini, kerbau merupakan investasi jangka panjang dalam sistem ekonomi tradisional. Maka wajar apabila kerbau bisa dijadikan semacam “alat tukar” atau “jaminan” dalam transaksi tertentu, secara sukarela atau terpaksa.

Written by Moh. Ali Fadillah

 

 Kerbau Dalam Tradisi Banten (Edisi 4)

Kerbau dalam Roman Saijah dan Adinda

Etnografi kerbau rupanya tak hanya bisa ditemukan pada fakta arkeologi dan sejarah. Kisah Saijah dan Adinda di Onderdistrict van Lebak itu juga melukiskan betapa kuatnya hubungan petani Banten dengan ternak kerbau.Dalam roman satire Multatuli karya Max Havelaar yang termashur itumemberikan gambaran betapa kerbau dapat dijadikan jaminan piutang antara “tuan tanah” yang kaya dengan “pribumi” yang miskin. Kisah yang mengambil setting di Kabupaten Lebak pada akhir masa kolonial, pada intinya menceritakan betapa kerbau satu-satunya milik orang tua Saijah harus dirampas oleh Kepala Distrik Parung Kujang, karena belum membayar pajak tanah.

Apa yang bisa kita petik dari karya sastra ini bukan soal kehilangan seekor kerbau, tetapi serangkaian proses produksi bahan pangan utama pasti terganggu. Bagaimana mengolah tanah, kemudian tandur, dan akhirnya panen? Itulah yang ada dibenak kita usai membaca roman ini, karena betapapun seorang ayah Saijah tidak sendiri, ada seorang istri dan anak-anak yang masih kecil (Saijah diantaranya), menjadi tanggungan sang ayah. Kehilangan kerbau dengan cara itu, tentu saja membuat keluarga Saijah dirundung malang.

Dikisahkan selanjutnya, ayah Saijah menjual keris pusaka untuk membeli seekor kerbau pengganti, yang setelah berada di tangan Saijah langsung jinak. Meskipun baru berumur 7 tahun, ia memang suka memelihara kerbau. Tetapi kegembiraan Saijah sebentar saja, kerbau yang inipun kembali dirampas. Lagi-lagi ayah Saijah terpaksa menjual barang pusaka untuk membeli penggantinya. Diceritakan, kerbau ketiga tidak terlalu kuat, tetapi mempunyai ciri khusus, berupa kunciran di bagian punggung belakang. Konon tanda itu membawa keberuntungan. Tetapi kerbau yang ini pun dirampas lagi, sampai ayah Saijah tak memiliki harta lagi untuk membelinya kembali. Keluarga Saijah jatuh miskin, dan memaksa mereka meninggalkan tanah kelahiranuntuk “mengadu nasib” di Batavia (Jakarta sekarang).

Karya Multatuli, nama pena “Eduard Douwes Dekker” yang terbit tahun 1860 ini memang rekaan, tetapi itulah gambaran nyata dari drama kehidupan di bawah rejim kolonial di pedalaman Banten, di mana petani dan kerbau menjadi isu utama dalam tradisi agrikultur Banten. Kisah Saijah dan Adinda tentu saja sangat menyentuh nurani setiap pembaca. Namun dalam konteks ini, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memahami,demikian berharganya kerbau sehingga dapat dijadikan semacam “jaminan” dalam urusan pajak.

Tetapi yang lebih penting lagi, betapa despotisme rejim berkuasa telah merusak tata nilai dan norma yang berlaku dengan memutus ikatan emosional antara Saijah dengan kerbaunya. Karena bagi Saijah, kerbau bukan sekedar “traktor hidup”, melainkan juga sebagai “sahabat” dan, lebih dari itu, kendati kisah rekaan, kerbaudipandang telah menjadi “dewa penolong” bagi keselamatan jiwaSaijah, dalam dalam konteks cerita itu dikiaskanhendak diterkam harimau.

Pertanyaannya adalah, apakah persepsi-persepsi masyarakat yang telah mengakar demikian lama dalam pemeliharaan kerbau dapat menjelaskan seberapa dalam notion orang Banten tentang kerbau? Apakah mereka memahami bahwa kerbau yang dianggap “keramat”, “bertuah” dan “membawa keberuntungan” sesungguhnya memiliki kelainan fisik (defect) sebagai akibat dari kelangkaan ternak jantan (pamacek) dan mengalami inbreeding yang sudah sangat tinggi? Apakah pula mereka memahami bahwa kerbau yang konon menjadi “sahabat petani” atau “dewa penolong” sesungguhnya hanya menjadi bagian dari komoditas ekonomipolitik? Mungkinkah karena pandangan seperti ini, peternakan kerbau di Banten tetap status quodalam rejim domestikasi tradisional? Mungkin pula karena itu, populasi kerbau tidak pernah bertambah secara signifikan, padahal kebutuhan akan daging kerbau terus meningkat, paralel dengan semakin meningkatnya konsumsi ternak besar!

Written by Moh. Ali Fadillah

 

Kerbau Dalam Tradisi Banten (Edisi 5)

Preferensi Orang Banten Terhadap Kerbau

Di era global sekarang ini persepsi masyarakat Banten tentang kerbau terus berubah. Kerbau memang hanyalah sosok hewan biasa, yang dapat ditemukan setiap hari di sawah, di kebun atau di tegalan. Pekerjaan sehari-hari hewan ini adalah merumput, sendiri atau berkelompok, membantu petani membajak atau bergumul di kubangan. Pagi hari, seperti masih sering terlihat, serombongan kerbau kerap menyeberang jalan, digiring dari kandang ke persawahan terdekat atau disebar di padang rumput.

Sore hari, menjelang matahari surut, sesudah dimandikan, dikembalikanke kandang, untuk istirahat di tempat yang terlindung; tidak jauh dari rumah pemilik atau penggembala, yang juga petani. Esok hari kembali melakukan hal yang sama dan di tempat yang sama pula: dari kandang ke sawah, membajak, merumput, berkubang, dan kembali ke kandang.Begitulah siklus hidup kerbau setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun, sampai ia menemukan takdirnya, di tempat jagal untuk dikonsumsi manusia.

Bagi sebagian besar masyarakat Banten, daging kerbau dirasakan sangat khas dibandingkan dengan daging sapi, sementara kulitnya dipergunakan untuk kerajinan, terutama untuk bidang pukul bedug berbahan kayu kelapa, yang biasa ditemukan di masjid atau mushala. Bedug-bedug typique itu belakangan menjadi perangkat utama kesenian “rampak bedug” khas Pandeglang. Ada pula yang memanfaatkan kulit kerbau untuk membuat kendang, salah satu gamelan tradisional Banten dan bahan membuat hihid (kipas) untuk perlengkapan tarian Dzikir Saman.

Demikian akrabnya hubungan kerbau dengan manusia, sehingga kerbau bukan hanya ternak biasa, tetapi bisa dibilang sebagai “traktor hidup” sekaligus sumber pangan “menu spesial” bagi sebagian besar masyarakat Banten. Oleh sebab itu, daging kerbaumudah dibeli di pasardan dapatditemukan di beberapa rumah makan sebagai masakanberselera: semur, sop, gule angeun lada, dendeng dan sate kerbau. Jenis masakan yang terakhir ini, sekarang mulai “digemari” masyarakat perkotaan; memberi inovasi baru bagi kulinerBanten.

Hubungan khusus kerbau dan manusia juga menapak pada ranah spiritual. Ada tradisi “tanam kepala kerbau” dalam beberapa ritual khusus, meskipun mulai ditinggalkan. Misalnya menjelang pembangunan jembatan atau struktur bangunan tertentu. Biasanya didahului dengan memotong kerbau dan bagian kepalanya dikuburkan di mana sebuah struktur akan didirikan. Ada pula kerbau yang dianggap keramat, karena memiliki ciri fisik berbeda dan berkarakter khusus. Kerbau jenis ini bahkan dianggap memiliki tuah bagi pemiliknya dan juga masyarakat sekitar, karena dipercaya membawa “keberuntungan”.

Namun untuk kasus Banten, tampaknya mitos tentang kerbau mulai luntur sejalan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini dan desakan modernisasidi pedesaan. Memang tak tampak adanya sakralisasi kerbau, karena yang terpenting dari keluarga bovidaeini adalah dagingnya. Dari semua menu ternak kaki empat yang “halal” dikonsumsi, daging kerbau dianggapmemberi rasa “berbeda”, mengingatkan orang pada selera dan cita rasa warisan leluhur orang Banten.

Maka bisa dibilang, orang Banten lebih suka daging kerbau dibandingkan daging lainnya. Preferensi ini dapat dilihat pada setiap hari raya keagamaan, Iedul Fitri dan Iedul Adha, daging kerbau menjadi hidangan paling istimewa. Bahkan, masyarakat telah mencatatkan hari khusus untuk penyembelihan kerbau sebagai poe meuncit kebo; dua hari atau tiga hari menjelang lebaran, sehingga ada semacam gurauan di tengah masyarakat Banten, tidak ada lebaran tanpatanpa daging kerbau, setidaknya mesti tersedia semur daging kerbau sebagai teman sejati gegemblong; uli bakar!

Written by Moh. Ali Fadillah

 

Kerbau Dalam Tradisi Banten (Edisi 6)

Modernisasi Ternak Kerbau, Mungkinkah?

Percaya atau tidak, mitos tentang kerbau tetap ada di ranah irasional, karena sampai saat ini belum ada argumentasi ilmiah yang menjelaskan fenomena metafisik tentang kerbau. Tetapi, mengingat tradisi yang sama juga ditemukan pada kebudayaan suku-suku lain di Indonesia, ada proposisi bahwa kerbau merupakan hewan terpenting dalam kebudayaan Nusantara, karena selain “pekerja” dan peliharaan, kerbau juga dianggap sebagai the sacred animal, yang secara turun-temurun menjadi hewan persembahan dalam berbagai ritual ancestor worship.

Pandangan ini didasarkan pada kepercayaan bahwa pengurbanan kerbau diyakini sebagai sumber kekuatan magis (als magische krachbron) dalam menjaga keseimbangan kosmik antara microcosmos (dunia manusia) dan macrocosmos (jagad raya). Begitu kuatnya asosiasi kerbau dengan budaya suku-suku bangsa di Indonesia, sehingga muncul sebutan Kepulauan Nusantara sebagai centrum van buffecultus.

Terkait atau tidak, nyatanya populasi kerbau di Indonesia tersebar luas di seluruh provinsi. Namun jumlah tertinggi dijumpai di Nangro Aceh Darussalam, diikuti oleh Sumatera Barat dan kemudian Sumatera Utara. Lalu bagaimana dengan Banten, mengapa populasi kerbau di Banten berada di urutan keempat secara nasional?Data statistik menyebutkan bahwa populasi kerbau di Provinsi Banten bersifat fluktuatif antara tahun 2004 (163.564 ekor) dan 2007 (144.944 ekor). Namun pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan meskipun tidak terlalu signifikan, yaitu sebesar 163.622 ekor (Banten Dalam Angka 2009). Tetapi dibandingkan dengan populasi nasional,populasi kerbau di Provinsi Banten tergolong kecil, yaitu masih di bawah 8% dari seluruh populasi nasional.

Sekarang mari membandingkannya dengan sapi dan ternak besar lain. Populasi kerbau di Provinsi Banten ternyata berada di urutan tertinggi. Hingga tahun 2008, tercatat populasi ternak kerbau mendominasi populasi ternak besar dengan jumlah populasi sebanyak 163.522 ekor, sedangkan sapi (potong) hanya sebanyak 11.812 ekor saja. Namun, dengan kuantitas itu, dominasi ternak kerbau belum signifikan, karena sebagian besar digunakan dalam usaha pertanian tanaman padi, seperti untuk ngawaluku (mengaduk tanah) dan ngagaru (meratakan tanah)menjelang tandur.Hal itu tampak jelas pada data statistik, di mana kerbau belum pernah masuk ke dalam kategori “kerbau potong” atau “kerbau perah”seperti halnya sapi.

Dengan mempertimbangkanpreference dan trend konsumen kerbau baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional, mestinya ada alasan kuat untuk mengembangkan peternakan kerbau dalam menunjang perekonomian daerah khususnya dalam domain agribisnis.Apalagi di daerah Banten, di mana daging kerbau lebih disukai, maka seharusnya kecenderungan ini dapat menjadi pemicu untuk memelihara kerbau secara lebih intensif.

Dengan demikian ada alasan kuat untuk mempromosikan kebijakan pengembangan agribisnis kerbau, di mana daging dan susunya dapat menjadi produk unggulan Provinsi Banten. Untuk itu perlu segera disusun sistem inovasi berbasis peternakan kerbau, yang diarahkan pada aplikasi teknologi, penguatan manajemen bisnis dan transformasi budaya. Sistem inovasi itu mencakup faktor-faktor yang saling berfungsi secara sistemik dalam siklus pembibitan, pemeliharaan dan pemanfaatan serta perluasan jaringan pasar dalam kluster khusus dan etos kerja yang spesifik. Jika benar bahwa dari delapan kabupaten / kota di Provinsi Banten, pada tahun 2008 populasi terbesar ternak kerbau berada di Kabupaten Lebak dan KabupatenSerang, sementara pada urutan ketiga dan keempat masing-masing Kabupaten Tangerangdan Pandeglang, maka keempat daerah otonom itu berpotensi menjadi sentra pengembangan peternakan kerbau di Provinsi Banten.

Written by Moh. Ali Fadillah

 

Kerbau Dalam Tradisi Banten (Edisi 7)

Menggagas Market Oriented

Potensi kerbau di Banten masih cukup menjanjikan di tengah kemajuan bioteknologi ruminansia besar. Sejarah, tradisi, preferensi dan perdagangan ternak kerbau terus berjalan sebagai business as usual di hampir seluruh wilayah Banten. Maka ketika konsumen daging meningkat sementara ketersediaan ternak tidak mampu memasok, importasi daging selalu menjadi solusi.

Dalam konteks inilah pengembangan usaha peternakan kerbau bisa menjadipeluang untuk menyeimbangkan faktor demand and supply. Preferensi khusus pada ternak kerbau dalam tradisi Banten mestinya menjadi social capital menghadapi era pasar bebas.Dari populasinya yang cukup signifikan, pengembangan peternakan kerbau di Provinsi Banten cukup menjanjikan, terutama di tiga kabupaten yang perekonomiannya masih bertumpu pada sektor primer.

Dilihat dari aspek sosial budaya,preferensi masyarakat terhadap kerbau menunjukkan probabilitas tinggi bagi peternakan kerbau modern. Persepsi masyarakat yang dilatarbelakangi unsur metafisik dan spiritualitas harus dipandang sebagai warisan budaya yang menjadi akar bagi penguatan local wisdom Banten. Sejalan dengan waktu dan dinamika masyarakat, kearifan lokal itu dimungkinkan akan mengalami transformasi ke arah pemikiran rasional. Demikian pula dilihat dari aspek teknologi ekonomi, pengetahuan dasar masyarakat tentang kerbau dapat dijadikan modal dasar bagi intensifikasi peternakan kerbau.

Dari data arkeologi, sejarah dan etnografi, diketahui bahwa sejak masa awal Masehi, kemudian pada masa Kerajaan Banten Girang sampai pada Millenium Ketiga dimana kita hidup sekarang, tradisi pemeliharaan kerbau terus berlanjut, baik dalam fungsinya membajak sawah maupun sebagai bahan pangan masyarakat, bahkan juga sebagai aset bergerak sebagian masyarakat di pedalaman.
Oleh karena itu, secara teknis tampaknya tidak terlalu sukar mempromosikan peternakan kerbau secara modern, apabila persoalannya bertumpu pada dua hal. Pertama, karena faktor biologis seperti sifat-sifat alamiah kerbau itu sendiri yang membuat peternakan kerbau tidak semudah sapi. Dan kedua, karena faktor teknologis, seperti keterbatasan bibit unggul, kualitas pakan, perkawinan silang, kurangnya pengetahuan peternak dalam bioteknologi dan agribisnis. Berangkat dari dua faktor itu, maka sudah tentu kendala peternakan kerbau dapat dijawab dengan aplikasi teknologi dan pengembangan manajemen bisnis.

Namun, apabila persoalannya lebih berpangkal pada nilai budaya dan sistem sosialnya, maka langkah awal menuju pengembangan peternakan kerbau modern harus dimulai dari penguatan budaya inovasi. Dengan meninggalkan factor driven, yaitu upaya mengurangi ketergantungan pada pemberian alam mengharuskan adanya perubahan mindset, dari sekadar self sufficience menuju market oritented. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa mutasi tekno-kultural itu hendaknya bertumpu pada semangat transformasi: dari “budaya petani” ke “budaya peternak” dan dari rejim business as usual menuju market orientedyang dikehendaki sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Banten.

Keseriusan pemerintah dalam pengembangan peternakan kerbau di Indonesia tercermin dari diselenggarakannya event nasional di Provinsi Banten, sekurang-kurangnya sejak tahun 2006, melalui Lokakarya Nasional Kerbau di Rangkasbitung. Dengan mengangkat tema “Percepatan Perbibitan dan Pengembangan Kerbau melalui Kearifan Lokal dan Inovasi Teknologi untuk Mensukseskan Swasembada Daging” bukanlah tanpa sebab memilih Banten sebagai tempat bertemunya para ahli veteriner. Puslitbang Peternakan Kementerian Pertanian tampaknya telah mempertimbangkan alasannya: potensi daerah dan kearifan lokal yang tetap terpelihara dalam peternakan kerbau.Tetapi kapan dan bagaimana terobosan ini dapat direalisasikan, mari menunggu dengan sabar!

Written by Moh. Ali Fadillah