Oleh: Moh Ali Fadillah
DUALISME kepemimpinan politik juga terjadi di kota-kota pelabuhan lain di pesisir utara Jawa, dan terbukti pula menjadi salah satu titik lemah Banten dalam menghadapi persoalan sosial ekonomi. Pada intinya, benturan kepentingan itu selalu dipicu oleh tarik menarik dua isme: antara lokal dan global, antara konservatisme dan liberalisme, antara pribumi dan non-pribumi. Dualisme kepentingan itu tampak nyata ditunjukkan oleh permainan peran figur-figur saling beroposisi: pejabat tinggi (santana) yang mempertahankan feodalisme agraris sebagai pemegang otoritas politik dan punggawa, representasi ‘pegawai biasa’ tetapi mendominasi kekuatan ekonomi kerajaan.
Seperti ditunjukkan oleh banyak sumber, ekonomi Banten menjelang abad XVII terutama berbasis pada tanaman dan eksportasi lada yang diproduksi di pedalaman Banten dan wilayah pengaruhnya di Sumatera Selatan (Lampung dan Bengkulu). Masalah utama yang dihadapi ‘the city-state’ seperti Banten adalah karena pertumbuhan ekonomi negara didasarkan pada kebijakan monokultur lada. Kemakmuran penduduk juga digambarkan demikian kuat terasosiasi dengan keuntungan dari eksportasi lada, yang telah membuat Banten mencapai reputasi sebagai emperium pengekspor lada kedua terbesar setelah Aceh di Asia Tenggara.
Namun kenyataannya, economic boom itu tidak dibarengi dengan penyediaan bahan pangan yang cukup untuk ibukota dengan penduduk mencapai sekitar 100.000 jiwa. Ketergantungan pada ekonomi lada ternyata equivalen dengan ketergantungan penduduk pada importasi beras dari pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa Tengah. Padahal sebelumnya, sampai awal abad XVI Banten dikenal oleh para pedagang Portugis sebagai salah satu pelabuhan yang mengekspor, selain lada juga beras dan bahan pangan lain (Cortessao, 1944).
Boleh dibilang ‘buah lupa pohon, batang lupa akar’, sesudah mangkatnya Maulana Yusuf, hampir tidak ada perhatian khusus diberikan pada aspek pertanian, padi khususnya, karena pedagangan lada telah manjadi mindset kekuasaan Banten antara 1580 dan 1620. Celakanya, para punggawa Banten selalu bersekutu dengan kaum saudagar untuk mengambil alih mesin kekuasaan pada setiap periode suksesi raja, terutama setelah Maulana Muhammad gugur dalam menghadapi dominasi Palembang di Sumatra bagian selatan, sementara putera mahkota masih kanak-kanak yang mengharuskan kekuasaan dipegang oleh seorang regent (wali-raja).
Dengan bantuan seorang Qadi, otoritas agama tertinggi di kesultanan dan juga sebagai pemegang kekuasaan peradilan, Perdana Menteri eksternal yang populer dengan gelaran Kiai Mas Patih pada periode Muhammad berhasil menduduki jabatan Regent, yang menurut Lodewijcksz dalam D’Eerste Boeck (1598), bahwa sang Perdana Menteri adalah seorang berpengalaman dalam urusan politik.
Maka dilihat dari usia, rekam jejak serta aliansinya dengan keluarga dinasti, membuat tokoh ini pantas untuk memimpin perwalian. Dengan keberadaaanya di pucuk pimpinan negara, menjadikan sesuatu yang luar biasa dalam sistem monarki Banten. Mengapa, karena Banten yang kental dengan mitos kebangsawanan warisannya, ternyata berada di bawah kendali punggawa; yang notabene ‘pegawai biasa’ seperti dijelaskan oleh sebutannya, Kiai Mas Patih.
*Sejarawan Banten Heritage