Oleh: Abdul Holid*
PEMILIHAN Kepala Daerah merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Diantara beberapa parameter keberhasilan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah ketidakberpihakan birokrasi atau netralitas ASN, bahwa birokrasi harus netral dari poltik karena ia harus melayani semua dan tidak dikendalikan oleh motif politik sehingga tidak bisa berlaku profesional seperti yang diidamkan oleh Max Weber salah satu pendiri awal dari Ilmu Sosiologi dan Administrasi negara modern dari Jerman. Menurut Max Weber, birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik atau diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Netralitas birokrasi diartikan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan negara dibandingkan kepentingan yang lain.
Aparatur Sipil Negara selanjutnya disingkat ASN sebagai pelaksana birokrasi di beri kewenangan mengelola keuangan dan aset negara, menggunakan fasilitas negara, serta membuat kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas. Pentingnya netralitas ASN agar wewenangnya itu tidak disalah gunakan untuk menguntungkan kelompok tertentu. Juga agar ASN tidak membuat kebijakan diskriminatif.
Netralitas ASN telah menjadi isu krusial dalam perbincangan berbagai kalangan, utamanya terkait dengan aktivitas ASN dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Netralitas ASN itu sendiri memiliki beberapa aspek, pertama, netralitas dalam politik, kedua, netralitas dalam pelayanan publik dan ketiga, netralitas dalam pembuatan kebijakan dan manajemen ASN. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, maka aspek yang terkait adalah netralitas dalam politik.
Sepanjang penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2020 berdasarkan data Bawaslu. Bawaslu telah menangani 1.536 dugaan pelanggaran netralitas ASN dengan rincian 1.313 berasal dari temuan dan 223 berasal dari laporan. Hasil tindaklanjut penanganan oleh KASN,
1.588 direkomendasikan ke Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini Kepala Daerah untuk diberikan sanksi.
Di Provinsi Banten sendiri pada tahun 2020, terdapat 4 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan. Dari data penanganan pelanggaran Bawaslu Provinsi Banten pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 terdapat 22 dugaan pelanggaran netralitas ASN yang direkomendasikan ke KASN, 15 di rekomendasikan ke PPK untuk diberikan sanksi namun hanya 2 rekomendasi yang diberikan sanksi sedangkan 13 rekomendasi tidak ada kejelasan sanksi dari PPK.
Pelanggaran yang terjadi umumnya dilakukan dengan cara memberikan dukungan yang di publikasi lewat media sosial atau menghadiri deklarasi bakal pasangan calon. Sedangkan pelanggaran olah ASN yang berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah biasanya dalam bentuk melakukan pendekatan dengan partai politik atau mendeklarasikan diri sebagai calon kepala daerah
Larangan
Netalitas ASN pada prinsipnya termasuk dalam rezim administrasi pemerintah dengan adanya pengaturan khusus (lex specialis) Secara normatif, ketentuan mengenai netralitas ASN dalam politik diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pasal 2 huruf f jo Pasal 24 ayat (1) Undang-undang ASN menggariskan prinsip/asas netralitas. Pengaturan lain tentang netralitas ASN dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perrpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pemilihan), Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korp dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PP 42/2004) atau Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP 53/2010), Keputusan Bersama SKB 5 kementrian/lembaga tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah, setidaknya terdapat dua norma terkait netralitas, yang diatur dalam Undang-undang ASN dan Undang-undang Pemilihan antara lain. Pertama, Ketentuan pengunduran diri bagi ASN yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana Pasal 59 ayat (3) Undang-undang nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Kedua, Larangan bagi ASN untuk membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebagaimana pada Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.
Ketentuan netralitas ASN yang kedua, sebagaimana disebut di atas, bahkan berimplikasi pada sanksi pidana jika larangan tersebut dilanggar. Berdasarkan Pasal 188 Undang-undang Pemilihan, ancaman pidana bagi ASN yang membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan, serta denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Dalam tahapan kampanye, ASN dilarang: (a) “Menghadiri deklarasi/kampanye pasangan calon dan memberikan tindakan/ dukungan secara aktif”; (b) “Ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi/pengenalan bakal calon”; (c) “Mengikuti deklarasi/Kampanye bagi suami/istri calon dengan tidak dalam status Cuti Luar Tanggungan Negara” dan (d) “Menghadiri deklarasi/kampanye pasangan calon dan memberikan tindakan/dukungan keberpihakan”
Komitmen
ASN harus berkomitmen untuk memenuhi janji netralitasnya sebagaimana sumpah profesi ASN maupun yang diamanatkan secara normatif dalam berbagai kerangka hukum yang mengatur, Pentingnya netralitas ASN agar wewenangnya itu tidak disalah gunakan untuk menguntungkan kelompok tertentu, memegang teguh profesionalisme dan sikap ketidakberpihakan dari segala bentuk pengaruh politik mana pun dan kepentingan politik mana pun, juga agar ASN tidak membuat kebijakan diskriminatif.
Oleh karena itu, untuk menjamin asas netralitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, maka konsekuensi hukum dari peraturan perundang-undangan di atas adalah,
ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, ikut serta sebagai pelaksana kampanye pemilihan kepada daerah, memberikan dukungan kepada calon peserta pemilihan kepada daerah, dan wajib mengundurkan diri dari jabatan pegawai negeri bila dicalonkan sebagai pejabat politik. Dengan kata lain, setiap ASN dilarang memberi dukungan atau melakukan kegiatan yang mengarah pada politik praktis khusus pada kontestasi pemilihan kepala daerah.
*Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Bawaslu Kabupaten Serang