JELANG Pilkada Kabupaten Pandeglang 2024, narasi dan diksi yang cenderung berbau primordialisme gencar digaungkan oleh beberapa pihak. Istilah pribumi dan non-pribumi pun makin santer disuarakan.
Istilah pribumi dan non-pribumi untuk menyebut kontestan lain pada Pilkada Kabupaten Pandeglang 2024 itu, seolah menjadi senjata andalan untuk menjatuhkan kontestan lain. Hal itu dinilai sangat berbahaya bagi sistem demokrasi di Kabupaten Pandeglang.
“Di daerah lain, isu pribumi non-pribumi itu sudah tidak populer dan tidak laku. Isu itu sudah dianggap kuno, kampungan dan norak bahkan primitif. Tapi anehnya di Kabupaten Pandeglang masih dipakai. Sejumlah pihak masih memakai istilah itu, baik saat menyampaikan pidato, bermedia sosial atau saat berbincang secara langsung. Ini sebuah kemunduran yang tentu saja sangat memprihatinkan,” ungkap tokoh masyarakat Kabupaten Pandeglang, HM Yayat Hasrat T, Jumat, (13/09/2024).
Dia mengingatkan, Pandeglang khususnya dan Indonesia umumnya ini dihuni oleh beragam suku bangsa, ras dan agama. Beragamnya bangsa ini dengan sendirinya menciptakan persatuan di tengah perbedaan. Jika kemudian perbedaan itu coba diusik dan dipecah dengan istilah pribumi dan non-pribumi, maka perpecahan akan menjadi ancaman serius, bahkan bisa menjadi kenyataan.
“Istilah pribumi dan non pribumi itu bahaya. Lihat lah sejarah, begitu banyak orang dari luar Kabupaten Pandeglang yang berjasa mengusir penjajah. Begitu banyak tokoh atau pemimpin di Pandeglang yang berhasil, meskipun mereka bukan orang Pandeglang. Kita lihat pahlawan bernama Letnan Bolang, Widagdo, Yusuf Marta Dilaga dan banyak lagi pahlawan lainnya. Mereka bukan kelahiran Pandeglang, tapi rela mati untuk bangsa dan Pandeglang,” terang pejuang pembentukan Provinsi Banten ini.
Lantas kata dia, mereka yang selalu menggaungkan istilah pribumi dan non-pribumi itu, apakah sudah berbuat banyak untuk rakyat Kabupaten Pandeglang. Sehingga dengan gagah perkasanya mengklaim bahwa hanya warga pribumi lah yang berhak menjadi pemimpin di Kabupaten Pandeglang.
Dia juga menjelaskan, banyak yang merasa dirinya paling pribumi, namun perilakunya tidak mencerminkan seorang pribumi yang baik. Yang ada dalam hatinya hanya ketakutan. Takut tersaingi, takut kalah dan takut kehilangan sesuatu.
“Pilkada adalah sarana untuk mendewasakan kita dalam berpolitik. Pilkada bukan untuk memilah dan mengkotak-kotakan, memecah belah apalagi saling menghancurkan dan menjatuhkan. Masih banyak cara lain untuk merebut hati rakyat, masih banyak cara lain untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Hindari jargon-jargon negatif hanya untuk menjatuhkan pihak lawan. Cukup anya Van der Flass yang memecah belah bangsa ini. Kia jangan mundur ke zaman kolonial,” tutupnya.
Redaktur : Fauzi