TIGA trah yang selama ini mendominasi dalam kancah perpolitikan di Provinsi Banten, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 harus tumbang oleh lawan yang sebelumnya tidak begitu diperhitungkan.
Tiga trah politik dimaksud yakni, Trah Mulyadi Jayabaya (JB) yang merupakan mantan Bupati Lebak periode 2003-2008 dan 2008-2013, Trah Ahmad Dimyati Natakusumah yang merupakan mantan Bupati Pandeglang dua periode dan Trah Rau yang merupakan keluarga mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Pada Pileg 2024, Trah JB ada Iti Octavia Jayabaya (Partai Demokrat), Hasbi Asyidiki Jayabaya (PDI Perjuangan) dan Vivi Sumantri Jayabaya (Partai Perindo) untuk bertarung di Dapil Banten 1. Kemudian Trah Dimyati memasang kedua anaknya Rizki Aulia Natakusumah (Partai Demokrat), Risya Azzahra Rahimah Natakusumah (PKB) dan Achmad Dimyati Natakusumah sendiri melalui PKS. Terakhir Trah Rau mengirimkan Adde Rosi Khoeronnisa (Partai Golkar) yang merupakan menantu dari Ratu Atut Chosiyah.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, kemungkinan dari tujuh orang yang maju di Pileg 2024, hanya Rizki Natakusumah yang kembali terpilih. Sedangkan enam lainnya diprediksi tidak mendapat kursi parlemen.
Fenomena trah politik yang bertumbangan, menurut Akademisi UNMA, Eko Supriatno mengatakan itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang pertama faktor ketidakmampuan mengkaderisasi generasi penerus.
“Terkadang, generasi penerus dalam trah politik tidak memiliki kemampuan atau kualifikasi yang memadai untuk memimpin dengan baik. Mereka mungkin kurang kompeten atau tidak memiliki visi yang jelas, sehingga menyebabkan kegagalan dalam mempertahankan trah politik tersebut,” kata Eko, Kamis (29/02/2024).
Yang kedua, Eko mengatakan tumbangnya trah politik adanya ketidakpuasan publik, dimana jika trah politik dianggap gagal atau tidak melayani kepentingan publik dengan baik, maka masyarakat bisa merasa tidak puas dan akhirnya menolak kelanjutan trah politik tersebut. Protes dan perlawanan dari masyarakat bisa menyebabkan trah politik tersebut tumbang.
“Yang ketiga adanya Perubahan politik dan sosial, yang mana perubahan dalam dinamika politik dan sosial suatu masyarakat juga bisa mempengaruhi keberlangsungan trah politik. Jika terjadi perubahan kebijakan atau pergeseran kekuasaan politik yang signifikan, trah politik bisa mengalami kesulitan untuk bertahan,” tuturnya.
Untuk yang keempat kata Eko dilihat dari persaingan internal. Konflik atau persaingan internal dalam trah politik juga dapat menyebabkan ketidakstabilan dan akhirnya tumbangnya trah politik tersebut. Pertikaian antar anggota dinasti atau kelompok-kelompok kepentingan dalam trah politik bisa melemahkan kekuatan politik mereka.
“Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, trah politik bisa mengalami kejatuhan atau bertumbangan. Hal ini menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang kompeten, pelayanan yang baik kepada masyarakat, serta kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman agar dinasti politik dapat bertahan dan tidak tumbang,” pungkasnya.
Eko Supriatno menilai juga trah politik akhirnya kalah bisa disebabkan oleh faktor kepercayaan diri, yang terbagi beberapa faktor diantaranya, pertama faktornya kelebihan percaya diri.
“Penguasa atau trah politik mungkin terlalu percaya diri dengan popularitas atau kekuasaannya sehingga meremehkan lawan politiknya dan menganggap bahwa kemenangan sudah pasti di tangan mereka,” tegas Eko.
Kedua Akademisi UNMA juga mengatakan faktor ketidakpedulian terhadap aspirasi rakyat. “Penguasa atau trah politik yang terlalu percaya diri mungkin tidak memperhatikan aspirasi dan kebutuhan rakyat secara mendalam, sehingga kehilangan dukungan rakyat pada saat pemilu,” kata Eko.
Ketika Eko menuturkan faktor kurangnya kesiapan dan strategi. Penguasa trah politik yang terlalu percaya diri mungkin kurang mempersiapkan strategi yang matang dan tidak melakukan analisis mendalam terhadap kondisi politik dan sosial yang ada.
“Keempat ketidakmampuan beradaptasi. Penguasa trah politik yang terlalu percaya diri mungkin tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan dinamika politik yang terjadi, sehingga kalah dalam kompetisi pemilu,” tuturnya.
“Dan yang kelima Faktor Eksternal. Selain faktor internal, faktor eksternal seperti perubahan opini publik, isu-isu kontroversial, atau campur tangan pihak luar juga dapat mempengaruhi hasil pemilu,” sambungnya.
Dalam konteks ini, Eko menjelaskan penting bagi penguasa trah politik untuk tidak terlalu percaya diri, tetapi tetap memperhatikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, serta melakukan persiapan dan strategi yang matang untuk menghadapi pemilu dengan baik.
“Dan bisa jadi birokrasi kita sudah jenuh dalam penguasa trah politik akhirnya tumbang dalam pemilu,” jelasnya.
Birokrasi yang jenuh dalam penguasa trah politik kata Eko dapat menyebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
“Ketika birokrasi tidak efisien, ketidakpercayaan publik merajalela, dan keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi mengakomodasi kepentingan rakyat, maka penguasa trah politik tersebut akan kehilangan dukungan dari masyarakat. Pada akhirnya, dalam pemilu, masyarakat akan memilih untuk mengganti penguasa trah tersebut dengan harapan adanya perubahan yang lebih baik dan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan mereka,” kata Eko.
Redaktur : D. Sudrajat
Reporter : Asep