KEJADIAN kasus yang diduga Pencabulan atau Sodomi terhadap anak-anak yang terjadi di Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang, mendapat tanggapan dari Pekerja Sosial Kabupaten Pandeglang.
Informasi yang dihimpun, jika yang sudah membuat laporan pada pihak Kepolisian adalah orang tua dari anak yang menjadi korban. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan bertambah jumlah korbannya.
Para korban saat ini telah mendapatkan pemulihan multi layanan dan dukungan Psikososial dari pendampingan Pekerja Sosial, UPT P2TP2A dan Kementerian Sosial melalui Sentra Galih Pakuan Bogor.
Menanggapi kasus tersebut, Pekerja Sosial Kabupaten Pandeglang, Ahmad Subhan meminta dengan tegas, agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang setimpal bagi tersangka bilamana terbukti secara hukum.
“Saat ini, anak-anak korban dalam pendampingan kami sebagai pekerja sosial. Saya meminta agar aparat penegak hukum, memberikan hukuman yang berat sesuai tindakan tersangka bila terbukti melakukan pencabulan,” ungkapnya, Kamis (24/8/2023).
Selain itu, ia menghimbau agar orang tua mampu meningkatkan kepercayaan diri anak-anaknya dan mengawasi perubahan anak, serta menghimbau agar pihak lingkungan juga ikut terlibat dalam upaya perlindungan anak.
“Saya pun mengimbau, agar para orang tua lebih peka terhadap perubahan pada anak. Selain itu, orang tua juga harus mampu meningkatkan kepercayaan diri pada anak agar jangan mudah terbujuk iming-iming orang yang tidak dikenalnya,” kata Ahmad Subhan.
“Mirisnya, ini dilakukan oleh seorang tetangganya yang masih dalam ruang lingkup RT setempat,” sambung Ahmad Subhan.
Menurutnya, jika terbukti Apa yang telah dilakukan oleh pelaku telah mengarah pada pelanggaran Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dimana Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
“Jika tersangka terbukti bersalah, maka tersangka akan dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” terang Ahmad Subhan.
Dari hasil telaah dengan melakukan rafid assessment, anak-anak korban rata-rata berusia sekitar 8 tahun, sebagai pekerja sosial, Ahmad Subhan menggaris bawahi beberapa hal.
“Yang pertama, Jumlah korban. Tidak tertutup bertambahnya korban lebih dari 2 orang dari yang yang sudah diidentifikasi dan divisum. Hal ini sangat memungkinkan, karena rata-rata anak yang menjadi korban kemudian diminta tersangka untuk mengajak teman lainnya,” katanya.
Dirinya menyebut, jika dalam kasus seperti ini sangat dibutuhkan pentingnya early warning (peringatan dini-red) dalam aspek edukasi.
“Pertama, memberikan pemahaman dan edukasi kepada anak agar ‘menjadi diri sendiri dan berani bercerita’, sehingga anak tidak mudah tergiur dengan ajakan atau iming-iming yang tidak tau asal darimana orang yang tidak dikenal. Kedua, mengajarkan tentang pentingnya menjaga anggota tubuh terutama bagian tubuh yang terlarang secara sehat. Kemudian untuk yang ketiga, bagaimana berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal, berani menolak/menghindari perilaku yang beresiko. sangat penting untuk diberikan kepada anak oleh orang tua, pendidik, masyarakat,” tegasnya.
“Karena kepolosan anak-anak yang memiliki rasa penasaran yang tinggi saat ditawari tersangka dengan iming-iming jajanan, fasilitas wifi, dan lainnya, menjadikan mereka korban yang mudah dibohongi dan diperdaya,” ujarnya.
Redaktur : D. Sudrajat
Reporter : Asep