Menemukan Kembali Masa Keemasan Banten (Edisi 1)

2
416
foto : tuntasmedia.com

Menemukan Kembali Masa Keemasan Banten (Edisi 1)

Banten Emporium Lada dan Beras

Dalam ranah geopolitik Nusantara, Banten sebagai salah satu wilayah yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah mengukir era keemasan antara abad X dan XVII Masehi. Menurut berbagai sumber sejarah, wilayah paling barat Pulau Jawa yang dalam kepustakaan Eropa lebih dikenal dengan istilah Bantam, telah membentuk pilar-pilar peradaban yang cukup mapan, baik sebagai unit politik-pemerintahan maupun entitas ekonomi perdagangan dalam mata rantai pertumbuhan negara kota di pesisir utara Jawa.

Sesungguhnya, cakupan peristiwa penting yang pernah ditatahkan rakyat Banten telah dimulai sejak zaman prasejarah pada awal abad pertama Masehi, kemudian berlanjut dengan masuknya pengaruh agama Hindu-Budha dan berdirinya kerajaan Islam, periode kolonial, dan revolusi sosial menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan. Klimaks dari perjalanan historis itu akhirnya dapat diraih seluruh rakyat Banten dengan menjadikan bekas wilayah Keresidenan Banten menjadi sebuah provinsi sendiri pada 4 Oktober 2000. Namun dari seluruh fase sejarah itu, periode sejarah Banten antara abad X dan XVII telah menunjukkan reputasi tersendiri di bidang sosial politik dan ekonomi perdagangan.

Selama lebih dari sepuluh abad perjalanan waktu yang dilalui, Banten pernah mengalami masa keemasan sebagai salah satu kesultanan terbesar di Nusantara. Era keemasan Banten bisa dicapai tidak semata-mata karena Banten terletak pada tempat yang strategis, melainkan juga berkat kemampuan pemimpin dan rakyatnya yang telah berhasil menjadikan Banten sebagai salah satu kota besar dan pelabuhan internasional di Asia Tenggara. Pada masa itu banyak pedagang dari berbagai negara di Asia Timur, India, Timur Tengah bahkan juga dari benua Eropa berdatangan dan turut mengambil bagian dalam menghidupkan perdagangan di pelabuhan Banten, dan sekaligus memberi sentuhan signfikan bagi berkembangnya urban civilization (peradaban kota) di jantung kehidupan Kesultanan Banten.

Namun kemajuan ekonomi Banten tidak datang secara tiba-tiba, karena jauh sebelum Kesultanan Banten berdiri, pelabuhan Banten telah dikenal sebagai salah satu emporium (pusat perniagaan) beras dan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara. Hal itu dapat dicapai berkat adanya satu unit kekuasaan lokal Sunda yang berpusat di kota Banten Girang.

Negeri Banten, yang dalam peta laut Cina dari tahun 1500-an, disebut Sunt’la atau Wan-tan, terletak di sebuah teluk yang tenang di pesisir utara Jawa bagian Barat. Kota ini dibangun di delta sungai Cibanten yang sumbernya berasal dari lereng Gunung Karang. Dari kota Banten, dahulu terdapat jalan darat sampai ke ibukota Kerajaan Pajajaran di Pakuan, yang terletak di sekitar kota Bogor sekarang. Jalan darat kuno ini digunakan sebagai jalur transportasi hasil bumi dari pedalaman selatan Banten ke pelabuhan di pesisir utara.

Kesaksian bangsa Eropa pertama yang mengisahkan keberadaan kota Banten berasal dari seorang penulis Portugis, Tome Pires. Dalam bukunya “The Suma oriental of Tomé Pires: an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515”, mencatat bahwa Banten merupakan sebuah pelabuhan di pantai utara Jawa yang menyuplai lada, beras dan bahan pangan lain ke Malaka.

Selain itu pelabuhan Banten juga mengadakan hubungan perniagaan dengan pelabuhan lain di pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Pada masa itu sekira awal abad ke-16, Banten masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut sejarawan Belanda, Ten Dam (1957), ibukota Banten masih menempati hulu sungai Cibanten, yang dikenal dengan nama ‘Wahanten Girang’ seperti disebutkan dalam naskah kuno Carita Parahyangan. Hasil penelitian kerjasama Perancis – Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Claude Guillot, telah menemukan situs ibukota tersebut tepatnya di Sempu, Banten Girang yang ditandai oleh keberadaan kompleks makam Agus Jo dan Mas Jong.

Ditulis oleh : Moh Ali Fadillah