Rahasia Debus Banten (Edisi 1)

1
680
Foto : tuntasmedia.com

Rahasia Debus Banten (Edisi 1)

Seni Kebal Tubuh

SAMPAI saat ini masyarakat awam masih memandang debus sebagai pengetahuan “rahasia”. Kebanyakan dari mereka menerima begitu saja ketika debus dikategorikan sejenis seni pertunjukan tradisional. Perspektif publik ini tentu saja hanya semacam penyederhanaan konsep dari sesuatu yang tidak pernah dipahami secara keseluruhan.

Benar bahwa sebagai karya seni, debus telah memiliki baku mutu, tetapi bukankah debus juga memerlukan banyak improvisasi? Dan bahkan akan terus mengalami transformasi sesuai tuntutan kreativitas jika debus memang dianggap sebagai kegiatan berkesenian. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa permainan debus mengimpresikan kekuatan magis, sejak itu pula ia diragukan sebagai kesenian an sich. Maka dari sinilah pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikiran setiap orang yang menyaksikan.

Dan, ketika jawaban tak pernah memuaskan, dengan segala apriori, orang lantas tidak lagi memiliki kepedulian kognitif untuk mengkaji debus lebih jauh. Maka cukuplah tahu, debus adalah sebuah “permainan” yang tak pernah berhenti mencari dan dicari “penonton”. Mengungkap berbagai transformasi pada debus sekarang, debus Banten menunjukkan tingkat inovasi yang patut diperhitungkan, setelah semakin naiknya frekuensi kunjungan wisata baik asing maupun nusantara ke beberapa destinasi penting di daerah Banten.

Fenomena itu bisa dijelaskan oleh dua hal. Pertama, dari distribusi kelompok kesenian debus di seluruh Provinsi Banten yang mencapai hampir seratusan kelompok (sanggar) dengan konsentrasi berada di dua kabupaten: Pandeglang dan Serang. Kedua, dari frekuensi pertunjukan debus yang selalu ada pada hampir setiap ‘perayaan’ yang bukan hanya di daerah Banten saja, tetapi juga sering dipentaskan di beberapa kota besar di luar Banten seperti Jakarta, Bandung, Bogor, dan bahkan di Pulau Bali sekalipun, baik untuk kenduri keluarga maupun suguhan turistik di hotel-hotel berbintang atau pernah juga di Yacht, sejenis kapal pesiar di perairan antara Nusa Dua dan Tanjung Benoa.

Selain itu popularitas debus kian menaik yang ditandai oleh semakin beragamnya jenis atraksi pada permainan debus, hingga puncaknya diperagakan dalam suatu event Festival Debus di Pantai Anyer. Hanya saja the central act debus masih tetap pada penonjolan kekebalan yang mengundang “ketakutan”. Namun, jika kembali pada inti permainan debus yang terutama bersumber pada pengendalian diri melalui penghayatan ratib dan manaqib, bukankah penting menekankan debus pada penciptaan suasana ritual yang dikemas dalam seni pertunjukan. Penonton atau wisatawan hendaknya dibawa ke arah ritual itu sebagai inti kesenian debus, sedangkan kekebalan hanya menjadi suplemen dari prosesi ritual.

Akhirnya, kita harus berani mengambil kesimpulan, bahwa meskipun belum menjadi trade mark nasional, debus telah dikenal sebagai tipe art performance paling menonjol di Banten. Tetapi, karena central act kesenian tersebut masih tetap mengandalkan “kebal tubuh” untuk menarik perhatian penonton, silang pendapat mengenai keberadaannya belum akan reda, terutama dari sudut pandang teologis. Pun sebagai warisan budaya, kita tetap dalam kesangsian antara seni dan ritual keagamaan. Maka sepantasnya debus pun menjadi wacana estetika yang menantang kajian akademis para pemikir budaya dan pelaku seni, terutama dalam mentransformasikan substansi seni religius itu dalam konteks modernitas Banten.

Ditulis oleh : Moh Ali Fadillah