Oleh: Ari Supriadi
“PERELEK, perelek….” ujar petugas Masjid Jami Al-Ikhlas, Cijoro, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten (saat itu masih Jawa Barat), medio 1995 silam. Ya, sudah lama rasanya saya tidak mendengar suara itu yang mengetuk pintu-pintu rumah warga untuk mengumpulkan beras. Petugas masjid setiap pekan rutin berkeliling kampung untuk mengambil sedikit beras dari rumah-rumah warga. Meski sedikit, entah hanya satu gelas ukuran 200 cc atau satu kaleng susu kental manis, tetapi beras-beras itu akhirnya terkumpul banyak dalam karung berbahan kain bekas produk terigu.
Pada medio itu, usia saya baru menginjak 10 tahun dan belum mengetahui betul apa tujuan dikumpulkannya beras oleh petugas masjid yang diambil dari rumah-rumah warga, yang mayoritas kelas menengah ke bawah itu.
Mengulik sejumlah literasi, budaya beas perelek ternyata sudah lama hidup di tengah masyarakat Jawa Barat. Ya saat itu (sebelum tahun 2000), Banten masih bagian dari Provinsi Jawa Barat, jadi secara budaya masih sangat kental pengaruh dari “wetan”. Jika di Jawa Barat dikenal dengan istilah beas perelek, kearifan lokal serupa juga hidup di tengah masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan sebutan “jimpitan”.
Beas perelek sebagai salah satu simbol budaya gotong royong masyarakat Sunda memiliki tujuan dan manfaat yang tentunya kembali untuk kepentingan masyarakatnya. Setidaknya beas perelek akan kembali kepada masyarakat melalui kegiatan sosial, ekonomi, dan juga keagamaan. Ketika memasuki musim paceklik (paila), maka beas perelek bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan. Kemudian beas pelerek juga bisa dijadikan modal usaha (skala kecil) masyarakat, tanpa harus ada bunga dalam pengembaliannya atau hasil dari beas perelek bisa digunakan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) untuk memulai kegiatan usaha, seperti menyediakan piring, gelas, kursi atau tenda untuk hajatan, dan juga beas perelek bisa digunakan untuk konsumsi saat dilakukan rehab masjid.
Kembali Menghidupkan Budaya Beas Perelek
Namun, saat ini saya melihat budaya beas perelek mulai hilang, terutama di wilayah perkotaan yang masyarakatnya sibuk untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Padahal di tengah pandemi virus corona (Covid-19), eksistensi budaya seperti itu sangat dibutuhkan di tengah masyarakat. Beas perelek bisa menjadi jaring pengaman sosial berbasis kearifan lokal untuk memenuhi salah satu kebuhan pokok (pangan) masyarakat. Dengan adanya beas perelek, masyarakat tidak perlu lagi menunggu uluran bantuan pihak luar, termasuk pemerintah yang tentu birokrasinya panjang dan berbelit, belum lagi jika kepala daerahnya mau dua periode, bisa jadi bantuan itu dipolitisasi. Sebab, sejatinya perut masyarakat (yang lapar) tidak akan mau dan mengerti birokrasi, tapi kalau dipolitisasi mungkin tidak apa-apa? Yang penting dapat bantuan.
Budaya beas perelek atau istilah lain di tiap daerah, rasanya masih sangat relevan diaplikasikan meski telah terjadi modernisasi dalam sistem sosial dan budaya masyarakat. Budaya beas perelek mengajarkan kita untuk berbagi, bergotong royong, belajar dari hal yang kecil, dan juga menjaga stabilitas pangan terutama saat bencana seperti sekarang ini. Budaya beas perelek juga bisa menjadi simbol kemandirian masyarakat dalam menjaga stabilitas pangan di lingkungannya.
Seperti yang dilakukan masyarakat Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten. Setiap musim panen, masyarakatnya selalu menyimpan hasil panen di dalam leuit (lumbung padi). Padi yang disimpan dalam leuit itu nantinya menjadi tabungan pangan Suku Baduy dan bisa diambil saat dibutuhkan. Sistem manajemen pangan di Suku Baduy sangat visioner dan sudah sepatutnya ditiru oleh masyarakat luar yang (katanya) modern untuk menjaga stabilitas pangan.
Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, tempat kelahiran dan tempat tinggal saya merupakan daerah di Provinsi Banten, yang sangat rawan akan bencana alam, mulai dari banjir, longsor, kekeringan, angin puting beliung hingga tsunami dan gempa bumi. Dengan melihat fenomena yang ada sudah seharusnya masyarakat menghidupkan kembali dan terus menjaga budaya beas perelek yang sejak zaman nenek moyang dicontohkan.
Untuk kembali menghidupkan budaya beas perelek dibutuhkan kesadaran bersama dan juga dukungan dari pemerintah. Masyarakat harus kembali diingatkan istilah “engke kumaha?” bukan “kumaha engke?”. Pemerintah desa, alim ulama, hingga tokoh masyarakat bisa menjadi agen untuk kembali menghidupkan budaya beas perelek di lingkungannya masing-masing. Saya yakin, tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan, terutama di bulan Ramadan yang pernuh berkah ini.
Sekali lagi, budaya beas perelek mesti dihidupkan kembali dan harus tetap hidup di tengah masyarakat. Karena dengan beas perelek, masyarakat akan memiliki kemandirian pangan dan juga memupuk solidaritas sosial yang akan terus relevan hingga kapan pun. Perelek… perelek…!!!
*) Penulis kelahiran Lebak, Banten, saat ini berprofesi sebagai wartawan di harian Tangsel Pos dan juga aktif sebagai pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pandeglang.