Evolusi Manusia Pasca Pandemik

0
249

Oleh: Dr. Muhadam Labolo

MANUSIA adalah satu dari empat anggota homo sapiens yang paling sukses mempertahankan genetiknya di alam ini. Simpanse, gorila dan orang utan adalah anggota famili yang masih tersisa dan terancam punah. Itupun, tak lebih karena belas kasih saudara sepupunya (manusia). Tanpa suaka, kemungkinan ketiga spesis itu benar-benar hanya dapat ditemukan di museum. Dinosaurus adalah buktinya.

Sementara kucing dan anjing adalah contoh dua spesis yang paling mampu merayu manusia untuk hidup berdampingan dalam jangka panjang lewat proses domestikasi (Noah, 2019). Sejauh ini manusia adalah spesis teratas dalam susunan ekosistem. Sejumlah spesis yang gagal bersimbiosis dengannya menjadi sejarah. Boleh dikatakan seluruh kendali populasi praktis berada di tangan spesis paling bijaksana, homo sapiens.

Kini kendali terhadap populasi paling rasional di planet ini mulai diragukan, kalau tidak dipertanyakan. Akankah manusia tetap bertahan di tengah ancaman micro-pandemic penuh lemak dalam jutaan sel yang menyerang masif, latent dan softly. Manusia, sebagai spesis yang pernah membuktikan dirinya paling berjaya selama jutaan tahun itu seakan tak sanggup melakukan apa-apa kecuali berdiam di rumah. Di tengah keputusasaan itu kaum agamis yakin ini tak lebih dari ujian Tuhan, sementara kaum evolusionis menyebut satu fase dalam siklus seleksi alam (survival of the fittest). Jika benar, spesis manusia seperti apakah yang akan tersisa pascapandemik?

Kata Darwin dalam teori evolusinya (1859), sejak awal telah ada spesis jerapah berleher panjang dan pendek. Hasilnya, jerapah berleher panjang paling sukses bertahan hidup sekalipun jerapah berleher pendek tetap eksis di lingkungan tertentu. Keduanya mengalami evolusi disebabkan pengaruh lingkungan. Bila evolusi manusia ibarat jerapah itu, sekurangnya ada dua probabilitas spesis manusia yang akan tersisa, yaitu spesis manusia alami yang tak pernah tersentuh virus dan spesis manusia yang memiliki imunitas pascasembuh dari serangan virus.

Kemampuan survive boleh jadi menciptakan spesis baru yang unggul dari resapan virus sejenis. Gen mereka yang sembuh kemungkinan diturunkan hingga membentuk spesis yang lebih kebal menurut Lamarck (1809). Mereka yang negatif kemungkinan memiliki daya tangkal tinggi atau memang belum tersentuh sama sekali. Di masa datang, bukan mustahil kemampuan virus meningkatkan diri semakin canggih. Dan untuk semua itu manusia perlu mempersiapkan diri agar kemampuan beradaptasinya melampaui kemampuan virus beradaptasi.

Evolusi manusia setidaknya menuju pada tiga perubahan mendasar, yakni cara berpikir, cara bertindak, dan mentalitas bertahan hidup. Evolusi berpikir manusia kini mengalami revolusi sebagai respons atas penemuan teknologi informasi (Revolusi 1.0-5.0). Dari bahasa isyarat, lisan, tulisan, kini mengandalkan kecerdasan buatan (artificial intellegence). Evolusi berpikir kita butuhkan untuk menjaga keseimbangan agar ritme hidup ini tetap terjaga hingga anak cucu. Alam memiliki cara untuk mengoreksi ketamakan sapiens dalam mengeruk isi perut bumi. Evolusi berpikir telah menurunkan kecakapan manusia dalam berbagai pekerjaan dan peluang baru yang lebih menantang, efisien, dan efektif. Melalui evolusi itu keterampilan hidup sapiens diharap semakin ramah pada lingkungan. Konsep paperless dan green life adalah contoh keterampilan hidup sapiens yang mengalami evolusi.

Sayangnya evolusi kedua hal itu tak cukup diimbangi oleh evolusi mental manusia untuk menghadapi perubahan. Kemalasan, ketidakpedulian, hingga sikap apatis terhadap perubahan lingkungan menjadikan kaum milenial bergenitas Y dan Z menggeser cepat posisi strategis generasi X. Semua dilucuti tanpa demonstrasi, tanpa spanduk, bahkan tanpa pemberontakan. Mereka tercampak begitu saja menjadi penonton setelah sekian lama menjadi pemain utama. Sementara kaum energik tumbuh dan berubah cepat seperti evolusi morfologi Pokemon. Respons milineal dalam membangun kesadaran masyarakat untuk peduli pada mereka yang terdampak Covid-19 tampak jauh lebih cepat sebagai filantropi dalam mengatasi kelemahan suprastruktur. Jangankan menolak jenazah, sikap milenial jauh lebih terbuka untuk turun ke jalan memberikan bantuan semampunya. Itu produk evolusi mental.

Akhirnya manusia paling unggul ke depan adalah mereka yang tidak saja memiliki antibodi super imun, juga memiliki kemampuan berevolusi dalam aspek kognisi, psikomotorik, dan afeksinya. Semakin sering ketiganya digunakan, semakin tinggi pula peluang mereka berada di rantai teratas dari kelompok homo sapiens. Inilah produk evolusi manusia yang mengalami revolusi oleh tekanan lingkungan, gen, dan satu lain hal.

*) Penulis merupakan Dekan Fakultas Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan penulis berbagai buku bertema pemerintahan, politik, dan kepemimpinan.