PUSAT Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung Berapi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber daya Alam melaporkan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Provinsi Lampung, kembali erupsi dengan melontarkan kolom abu setinggi 1.000 meter di atas puncak kawah atau pada ketinggian 1.305 meter di atas permukaan laut, pada pukul 07.14 WIB, Senin (25/6/2018), Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan dalam keterangan pers.
Gunung Anak Krakatau melontarkan abu vulkanik dan pasir, namun erupsi itu tidak membahayakan penerbangan dan pelayaran di Selat Sunda. Selain itu, erupsi juga tidak berbahaya selama berada di luar radius satu kilometer dari puncak kawah.
Tidak ada perubahan status Gunung Anak Krakatau, yaitu masih tetap Waspada. Status Waspada ditetapkan pada 26 Januari 2012 hingga sekarang. Artinya, aktivitas vulkanik di atas normal sehingga terjadinya erupsi dapat terjadi kapan saja. Tidak membahayakan selama masyarakat tidak melakukan aktivitasnya di dalam radius satu kilometer.
Sejak 18 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau memang mengalami peningkatan aktivitas vulkanik, seperti gempa tektonik, vulkanik dan tremor. Ada pergerakan magma ke luar permukaan sehingga terjadi erupsi. Secara visual terlihat erupsi mengeluarkan abu dan pasir. Tipe letusannya strombolian yang terjadi erupsi secara berkala pada saat itu.
BNPB mengatakan erupsi Gunung Anak Krakatau adalah hal biasa karena masih aktif untuk tumbuh besar dan tinggi. Gunung Anak Krakatau muncul dari permukaan laut pada 1927 dan rata-rata bertambah tinggi 4-6 meter per tahun.
Para ahli mengatakan sangat kecil sekali peluang terjadi letusan besar seperti letusan Gunung Krakatau pada 1883. Bahkan beberapa ahli mengatakan tidak mungkin untuk saat ini. Jadi, tidak perlu dikhawatirkan.
Masyarakat diimbau tetap tenang karena BPBD Provinsi Banten, BPBD Provinsi Lampung, PVMBG dan BKSDA telah melakukan langkah antisipasi. Yang penting masyarakat mematuhi rekomendasi tidak melakukan aktivitas di dalam radius satu kilometer dari puncak kawah.
Redaktur : A Supriadi
Sumber : VOA Indonesia