Oleh: Rizal Fauzi*

DUA TAHUN tahun ini, saya begitu sering melintasi jalan Serang – Pandeglang. Pun sebaliknya. Satu hari bisa dua hingga tiga kali bolak balik. Selain karena alasan pekerjaan, Pandeglang menjadi tempat melabuhkan rindu pada kampung halaman.

Soal macet? Jangan tanya. Di jalan sepanjang 20 Km tersebut ada empat simpul kemacetan; tiga pasar (Baros, Cadasari dan Pandeglang) dan satu penyempitan jalan di Palima. Wajar jika akhir pekan, apalagi libur panjang, kemacetan bisa mengular hingga ke Cimanuk bahkan lebih.

Lain lagi jika hujan turun dengan lebat. Genangan air bisa jadi banjir besar dan memotong jalur tersebut. Jalur Serang – Warung Gunung dan Ciomas – Mandalawing jadi alternatif agar sampai di Pandeglang. Kemacetan – kemacetan macam itu yang kadang membuat saya kesal.

Berbeda dengan beberapa waktu lalu. Pasca Badai Dahlia menerjang dan memutus jalur ini, akibat pohon roboh melintang di tengah jalan, kali ini saya begitu menikmati kemacetannya. Saya “melihat” Muhammad di sepanjang jalan.

Rasa haru membuncah dalam dada saat laki – laki, perempuan, tua, muda, santri, anak nongkrong – dikawal tentara dan polisi – tumpah ruah ke jalan. Puluhan motor dan mobil jadi etalase panjang mulud. Suara klakson bersahutan dengan rebana dan shalawat untuk nabi.

Beragam cara masyarakat mengekspresikan kecintaannya terhadap nabi. Ada yang hanya bersila dan berbagi kudapan di masjid dan musala, ada yang hanya mengundang penceramah, ada pula yang merayakannya dengan membuat panjang mulud.

Kita bisa menemukan Muhammad di mana pun. Saya bertemu di sepanjang jalan ini. Namanya abadi, sejak dalam pikiran!

Serang, Oktober 2022

*Wartawan, dosen dan pemerhati sosial budaya