Mengenang Sultan Ageng Tirtayasa (Edisi 3)

0
454

Politik Lokal vs Ekonomi Global

DARI beberapa episode sejarah Banten, sesungguhnya fase kemerdekaan Banten hanya berlangsung selama 150-an tahun (1527-1682). Pada periode itu, Banten diperintah oleh lima penguasa: Maulana Hasanuddin (1527-1570?), Maulana Yusuf (1570?-1580?) diselingi oleh pemerintahan perwalian (1580-1594), Maulana Muhammad (1594-1596), diselingi oleh pemerintahan perwalian (1596-1624), Sultan Abdul Kadir (1624-1651), dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).

Benar bahwa pemerintahan Hasanuddin dan Yusuf agak kabur selama periode cukup panjang dalam sumber-sumber sejarah eksternal. Sumber sejarah lokal pun lebih terkonsentrasi mengungkapkan perihal kekerabatan raja dan mengenang uniknya peristiwa-peristiwa politik yang mengungkapkan: penaklukan spiritual Banten Girang, klaim atas (Sunda) Kalapa yang disponsori oleh Demak, perluasan pengaruh ke seberang Selat Sunda, perpindahan ibukota ke muara Cibanten, dan pengenalan Islam ke Pakuan.

Pada fase awal kesultanan, produksi agrikultur lebih dari cukup untuk menghidupi kota dengan penduduk belum padat. Maulana Yusuf adalah penguasa pertama, yang memulai kampanye pembangunan pertanian sekitar 1550. Dalam Babad Banten pupuh XXII-2/3, ia mendapat sanjungan melalui ungkapan: “kuat nambut karya […] kathah karya kabecikan, asusuk, abendung kali karana aweh manpaat”. Manuskrip menunjukkan bahwa raja Banten kedua telah merealisasikan investasinya di sektor pertanian. Tetapi sepeninggalnya, setelah diselingi pemerintahan Muhammad yang hanya 2-3 tahun, ada fase perwalian yang panjang di mana para pedagang menguasai pos-pos penting di pemerintahan antara 1580-1609.

Tampak sekali, jauh sebelum era Sultan Ageng, elit kota sudah terbagi ke dalam dua kelompok besar. Para pedagang tentu saja hanya berpikir untuk mengembangkan perdagangan dengan mengesampingkan semua intervensi politik lokal. Mereka tampaknya lebih memandang penting produk-produk importable dan exportable. Sementara itu kebangsawanan tampak mempunyai visi berbeda dengan selalu memikirkan masalah pertanian.

Dalam Babad Banten, meskipun fragmentaris, tergambar bahwa mereka lebih terfokus untuk memperjuangkan tiga kepentingan: integritas dinasti, kesatuan agama, dan pertanian, yang lebih diarahkan pada cadangan pangan. Kecenderungan autarkis itu amat kontradiktif dengan semangat kapitalisme-liberal yang dianut para pedagang dalam eksportasi lada.

Pada episode inilah, kita berhadapan dengan sebuah masyarakat yang betul-betul kontras, pada satu sisi elit politik lokal yang bangsawan dan administratif, pribumi dan secara etnik homogen, terikat pada tanah. Dan pada sisi lain, kekuatan ekonomi global, sebuah komunitas niaga ‘asing’ dari berbagai etnik dan ras, yang secara simbolik, ada penolakan hak memiliki tanah. Pemisahan yang tegas tak ragu menjelaskan instabilitas pada sebuah negara berbasis perniagaan, karena para pedagang bisa dengan mudah pergi ke pelabuhan lain, dan membiarkan kekuatan politik kehilangan sumber ekonominya yang signifikan.

Penulis : Moh Ali Fadillah

Baca Juga : Mengenang Sultan Ageng Tirtayasa (Edisi 1)

Baca Juga : Mengenang Sultan Ageng Tirtayasa (Edisi 2)