Oleh: Dr. Muhadam Labolo
TAK ada musuh pandemik yang paling dihindari di seantero dunia abad ini kecuali Coronavirus Disease 2019 (Covid 19). Jangankan membaca karakteristik detail dirinya, mengamati perkembangan sepak terjangnya di setiap negara setidaknya telah menurunkan imunitas kita. Begitu kekebalan manusia mengalami depresi maka dengan mudah virus tersebut melelehkan hidung, menggaruk tenggorokan, hingga merontokkan salah satu jaringan vital manusia, paru-paru. Sifat mikro-biologis virus corona yang super aktif lewat berbagai media sebagai inang perkembangbiakan itu, kini tidak saja menguji kohesivitas sosial, demikian pula ekonomi dan politik umat manusia.
Mobilitas sistem sosial di hampir semua kelompok dari yang paling mikro (keluarga) hingga yang paling kompleks (negara) dicerai-beraikan. Integrasi yang selama ini dipandang sebagai modal bagi terciptanya kohesi sosial dalam realitasnya rapuh. Kenyataan itu seakan mengingkari teori-teori sosiologi klasik-modern seumpama Comte, Weber, Marx, Durkheim, dan Parsons. Kesadaran kolektif justru dibutuhkan hanya untuk melerai kepadatan kelompok. Semakin kecil kerumunan semakin besar peluang untuk hidup. Covid-19 membalikkan pula semboyan klasik soal bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, yang ada bercerai kita survive bersatu kita mati. Covid-19 menyisakan integrasi sosial lewat kesadaran di dunia maya, kesadaran untuk melawan tetapi tidak dalam realitas yang sesungguhnya. Virus corona nyaris mengembalikan sistem sosial kita ke masa lampau, diam di rumah (stay at home) dan mengisolasikan diri sebagaimana ciri masyarakat purba, tidak dengan menemukan keramaian sebagai sumber daya terbesar bagi suatu negara.
Pada ruang sosial domestik, Covid-19 seakan memperbaiki kembali rumah dan tangga tempat manusia beranjak. Keluarga sebagai pondasi terbaik bagi konstruksi bernegara kembali didamaikan (Iver, 1985). Sejauh ini banyak program pemerintah dengan lokus keluarga yang menyedot triliunan rupiah seakan tak membantu merujukkan. Laporan di hampir setiap negara menunjukkan bahwa keluarga sebagai basis pemerintahan itu rentan dengan problem yang dihadapinya. Angka perceraian yang tinggi akibat lemahnya ekonomi menjadi satu dari sekian sebab yang membuat institusi keluarga berantakan. Jika keluarga adalah masa depan negara, maka virus corona seolah dikirim Tuhan untuk merehabilitasi kembali institusi kecil itu sekaligus menguatkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Virus corona juga menyampaikan pesan kuat pada institusi sosial lain seperti pendidikan dan lembaga keagamaan. Metode pendidikan dengan sengaja diberi jarak yang melampui sekat geografis. Virus corona dengan cepat mengajari guru dan murid tanpa malu-malu soal kecerdasan buatan. Murid dengan mudah mengunduh pengetahuan bagi nutrisi kognisi dan tutorial-psikomotoriknya, tapi aspek karakter-afeksi dengan terpaksa dititip di keluarga. Di sini persoalannya, tidak semua kepala rumah tangga mampu menjadi examplary sample di tengah keluarganya.
Lembaga sosial keagamaan pun tak luput dari perhatian serius virus corona. Simbol-simbol keyakinan yang selama ini sakral dan suci seperti masjid, gereja, pura, kuil, dan sinagog tak berarti apa-apa. Virus corona bukan saja tak menghormati Tuhan, tapi lebih ditakuti daripada Tuhan itu sendiri, sebab manusia lebih memilih mengunci rapat tempat ritualnya dibanding memuja Tuhan secara berjamaah. Seluruh rujukan sahih mesti dikecualikan karena darurat, daripada berkalang tanah tanpa peribadatan dan penghantaran yang layak hingga ke liang lahat.
Dalam sistem ekonomi, virus corona menguji ketahanan manusia dalam jangka panjang. Ia menguji beroperasinya faktor-faktor produksi dan keadilan distribusi pada setiap negara. Virus corona seakan pula ingin mengembalikan sistem ekonomi manusia ke era traditional. Dalam keadaan ekstrem bukan mustahil pola barter dapat terjadi, sebab masyarakat kota sangat bergantung pada produksi masyarakat di desa jika terjadi kelangkaan sumber daya. Sistem ekonomi yang bersifat hierarki, pasar dan campuran juga diuji secara serentak. Di negara dengan sistem ekonomi sentralistik seluruh sumber daya dikuasi dan didistribusikan dengan cepat dari rantai puncak kekuasaan ke level terendah. Tiongkok dan Malaysia mempraktikkannya.
Lain halnya negara dengan sistem ekonomi kapitalistik (demokrasi), sebagian besar sumber daya dikuasai kelompok pemegang modal. Efeknya, distribusi sumber daya ke level terbawah seringkali mengalami kemacetan panjang. Masalahnya, faktor-faktor produksi seperti modal, sumber daya alam, sumber daya manusia, enterpreneurship, dan sumber daya informasi dikuasai oleh subkultur ekonomi dinegara tersebut. Amerika contohnya, untuk memproduk obat antivirus dan Alat Pelindung Diri (APD) mereka mesti memesan pada pihak swasta.
Dalam situasi demikian virus corona memberi kita kesadaran untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi dari kelas atas ke kelas menengah ke bawah. Disadari bahwa ketakutan terbesar terhadap ancaman Covid-19 berada di level borjuis, meski lebih ditakuti lagi dampak ekstrem pada kelompok proletar akibat ketidakseimbangan ekonomi yang dapat menciptakan wabah baru seperti perilaku anarkis, chaos, konflik sosial, perampasan, dan perampokan dengan alasan kelaparan. Tentu saja tidak ada kelas yang paling diminati kecuali mereka yang selama ini menguasai sumber daya, kaum elit. Upaya lockdown, karantina, maupun pembatasan sosial berskala besar dalam waktu tertentu bukan tanpa implikasi, tapi kemampuan manusia dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dapat menjamin masa depan atas sistem ekonomi yang dianutnya.
Akhirnya, konsensus politik di setiap negara menjadi variabel yang tak dibiarkan begitu saja oleh virus corona. Ketegangan antarkekuatan politik dalam masyarakat mesti ditunda walau hanya untuk sementara waktu. Demikian pula perseteruan antarnegara, Suriah, Palestina, dan Israel contohnya. Virus corona tampaknya memberi panggung politik bagi siapa saja asal tak gentar berhadapan dengannya. Risikonya tanggung sendiri, puluhan pejabat di dunia tewas bahkan bunuh diri karena tak sanggup menghentikan korban yang meningkat ibarat deret ukur di mana-mana. Tantangan terberat para pemimpin dunia kini bukan hanya menghindari serangan laten virus corona, tapi lebih dari itu depresi mental akibat kegagalan moral dalam mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan masyarakat. Politik pun kini seakan dikembalikan ke asal-usulnya, hanya mereka yang paling berani mengambil inisiatif dan mampu menyelamatkan rakyatnya yang akan bertahan sebagai pemimpin yang sesungguhnya. Inilah esensi hukum alam (natural of law).
*)Penulis merupakan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan penulis aktif serta telah menerbitkan sejumlah buku, terutama bertema pemerintahan, politik, dan kepempimpinan. Berbagai tulisannya bisa diakses melalui blog Perspektif Pemerintahan http://muhadamlabolo.blogspot.com.