Sst… Jangan Berisik…!!! Taati Saja Apa Kata Pemerintah

0
240

Oleh: Ari Supriadi

“DEMOKRASI itu berisik,” ujar salah seorang dosen ketika mengajar mata kuliah e-Government di Kampus IPDN Cilandak, Jakarta Selatan, 2018 lalu. Di kelas pascasarjana yang mayoritas mahasiswanya birokrat, dosen saya berpendapat, di negeri yang menganut sistem demokrasi dinilai terlalu berisik. Karena semua orang bebas berbicara. Namun terkadang “ngawur” karena tidak/kurang memahami apa yang dibicarakan.

Hampir dua tahun berlalu, kalimat yang terdengar sederhana itu masih terngiang di telinga saya. Sepertinya kalimat itu ada benarnya, seperti saat ini di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Sejak Presiden Joko Widodo, 2 Maret 2020 lalu mengumumkan adanya dua warga Kota Depok, Jawa Barat, yang terinfeksi Covid-19, pemerintah hingga saat ini terus melakukan penanganan serta mengeluarkan berbagai kebijakan, baik di level pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.

Berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk menjinakan virus “impor” dari Wuhan, Tiongkok itu tidak serta-merta diterima dengan penuh kepatuhan oleh masyarakat. Karena ada yang kontra dan tentu banyak juga yang mendukung langkah pemerintah. Akhirnya tugas pemerintah yang mestinya bisa lebih fokus terhadap penanganan Covid-19, sedikit terganggu akibat kritik tanpa solusi dan cenderung destruktif. Atau mungkin saja adanya “pembangkangan” ini dampak dari komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dengan yang diperintah. Lebih parah lagi, ini bisa saja dipakai sebagai alat politik oleh elit untuk “manggung” di tengah pandemi Covid-19.

Memasuki Ramadan 1441 Hijriah, pemerintah melalui Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 6 Tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19. Dalam SE tersebut sedikitnya 15 (lima belas) panduan ibadah puasa Ramadan. Di antara 15 (lima belas) panduan itu, saya menangkap yang paling ramai diperbincangkan publik yakni pada poin 3 (tiga), yakni soal salat tarawih yang dilakukan secara individual atau berjamaah bersama keluarga inti di rumah. Ya di rumah, bukan di masjid atau musala, tempat biasa umat Muslim gunakan untuk menjalankan salat sunnah yang dilaksanakan ba’da Isya tersebut.

Poin 3 (tiga) ini ramai diperbincangan, sama seperti imbauan untuk meniadakan salat Jumat dan menggantinya dengan salat duhur yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tengah pandemi Covid-19. Saya tentu tidak akan membahas dalil-dalil mengenai itu, karena fatwa itu sudah diputuskan oleh ahlinya. Orang awam (seperti saya) tinggal mematuhi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau ahlinya.

Namun yang menjadi masalah saat ini adalah (maaf), orang yang tidak/kurang memiliki ilmu di bidangnya ikut berbicara, mencela, menolak, memprovokasi atau bahkan membangkang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan di saat pemerintah mengimbau masyarakat untuk menghindari keramaian/kerumuman massa, termasuk di tempat ibadah, masih ada saja pihak yang mengajak masyarakat untuk meramaikan tempat ibadah tanpa mempedulikan protokol kesehatan.

Bukannya negara kita ini dibangun atas dasar kesepakatan. Kita sebagai rakyat sepakat untuk dipimpin dan pemimpin (pemerintah) sepakat untuk mengurusi rakyatnya. Dalam berbagai literatur, sedikitnya terdapat tiga fungsi pemerintah, yakni pelayanan (service), pembangunan (development), dan pemberdayaan (empowering).

Terbaru, Presiden Joko Widodo, 21 April lalu mengeluarkan kebijakan larangan mudik pada perayaan Idul Fitri 1441 H. Larangan mudik itu diambil bagian dari langkah pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus corona. Sebab, sejatinya virus itu tidak mampu berpindah tanpa dibawa oleh manusia.

Lagi-lagi kebijakan itu ditanggapi pro dan kontra di masyarakat. Tidak hanya ngeyel untuk tetap maksa mudik, tetapi juga mempermasalahkan antara kata “mudik” dengan “pulang kampung”. Meski (tentunya) kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Terlepas dari pengertian “mudik” dan “pulang kampung”, saya memahaminya secara sederhana, yakni (selama pandemi Covid-19) kita semua tidak boleh pulang ke kampung halaman, baik untuk sementara waktu atau untuk jangka waktu lama, terutama dari zona merah ataupun menuju zona merah.

Kebijakan pemerintah, baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota tentu semuanya bermuara pada kemaslahatan seluruh rakyatnya. Saya meyakini tidak ada kebijakan pemerintah yang ingin mencelakakan masyarakatnya, karena sejatinya (aparatur) pemerintah juga bagian dari masyarakat itu sendiri. Tentu setiap proses kebijakan yang dikeluarkan sudah melalui pertimbangan yang matang, mulai dari penentuan agenda, perumusan alternatif, penetapan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.

Kebijakan pemerintah dalam upaya memperlambat penyebaran dan juga menghentikan pandemi Covid-19 tidak akan berhasil tanpa adanya peran aktif dari semua lapisan masyarakat. Baik (masyarakat) yang ada di kota, di desa, kaya, miskin, tua, muda, semuanya mesti kompak menghentikan penyebaran Covid-19.

Dukungan masyarakat cukup sederhana, hanya tinggal menaati setiap kebijakan pemerintah dan disiplin. Sepertinya saya tidak perlu lagi mengingatkan kita semua untuk selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), mencuci tangan menggunakan sabun, physical distancing/social distancing, mengenakan masker jika berada di luar rumah, dan tentu menjaga/meningkatkan imunitas tubuh agar kebal terhadap berbagai penyakit serta tidak lupa untuk tetap berdoa kepada Tuhan YME. Karena semua itu tentunya sudah disosialisasikan oleh pemerintah melalui berbagai media.

Kita semua tentu berharap musibah ini dapat segera berlalu, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Namun lagi-lagi harapan itu hanya akan menjadi fatamorgana jika kita semua tidak patuh terhadap setiap kebijakan pemerintah.

Dalam istilah Islam dikenal “ati’ullah wa ati’ur rasula wa ulil amri minkum” yang terjemahannya (kurang lebih) “Taatilah Allah Swt dan Rasulullah dan pemimpin (pemerintah) di antara kalian” (wallahu a’lam bish-shawabi). Akhirnya sebagus apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sebesar apapun anggaran yang dikeluarkan untuk menanggulangi Covid-19 tanpa dukungan bersama, semuanya akan sia-sia dan kita akan selalu hidup di bawah teror makhluk berukuran 26-32 kilobase (nauzubillah min zalik). Saat ini tugas kita adalah mematuhi semua kebijakan pemerintah (ulil amri minkum), disiplin, dan sst… jangan berisik.

*) Penulis merupakan wartawan di harian Tangsel Pos dan juga pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pandeglang.