Antara Banten Girang dan Pulosari (Edisi 2)
Pentingnya Situs Pertapaan
BUKU “Sejarah Banten dari masa nirleka (prasejarah) hingga akhir masa kejayaan Kesultanan Banten (abad ke-17)” karya Yoseph Iskandar dkk itu, apabila kita membacanya, memang tidak seluruhnya hasil kajian sejarah, juga tidak melulu mengacu pada karya Pangeran Wangsakerta, karena ada beberapa bagian memberikan informasi baru yang bersumber dari data arkeologis. Namun jika boleh memberi tafsir, tampak pada buku ini ada upaya penyederhanaan sekuensi ‘historical events’ dan peran tokoh sejarah. Benar bahwa buku ini lebih ditujukan kepada kalangan masyarakat umum, tetapi bukankah penting pengungkapan fakta-fakta yang harus terlebih dahulu teruji kebenarannya?
Kelemahan mendasar dari segi arkeologis adalah pengungkapan sejumlah tinggalan arkeologi yang terdapat di lereng dan puncak Gunung Pulosari, Pandeglang. Tanpa deskripsi yang memadai sebagai hasil proses pemerian bentuk dan konteks ruang dan waktunya, interpretasi telah terlanjur dibuat. Memang ada data banding yang diajukan untuk mendukung penafsiran fungsi, misalnya dengan hasil penelitian Haris Sukendar yang berupa “Laporan Survei Pandeglang dan Ekskavasi Anyar, Jawa Barat 1979”, dan survey lapangan Claude Guillot tentang keberadaan candi [?] beserta dengan sejumlah arca dewa asal Gunung Pulosari yang dituangkan dalam bukunya “Banten Sebelum Zaman Islam, Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? – 1526 (1994/1998). Namun, harus dikatakan bahwa kedua penelitian ini pun belum sepenuhnya terfokus pada pengungkapan fakta-fakta keseluruhan dari fenomena kehidupan purba di perbukitan Mandalawangi.
Dengan munculnya penafsiran dari mainstream berbeda, wajar apabila kontroversi timbul di kalangan sejarawan dan ahli arkeologi sendiri, misalnya Djaenuderadjat dengan menerbitkan “Catatan Jejak Peninggalan Purbakala sebelum Islam di Daerah Banten “ (2001). Namun pada umumnya ‘keberatan’ masih terungkap dalam tingkat wacana informal. Biarpun begitu, masih belum ada alasan kuat untuk memberikan kritik konstruktif, mengingat penelitian lapangan yang seksama belum pula dilakukan pada situs-situs tersebut.
Maka dengan semakin menajamnya pandangan-pandangan kontradiktif atas rekonstruksi sejarah awal Banten, penelitian arkeologi menjadi sangat urgen dikonsentrasikan pada beberapa situs pertapaan yang dalam manuskrip Sajarah Banten disebut sebagai tempat mukim para ajar, seperti pernah diungkapkan oleh Djajadiningrat dalam disertasinya “Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Jawa” (1983).
Isu utama penelitian dengan begini dimungkinkan untuk memulai dari fakta bahwa sebelum masa kejayaan Islam, Banten telah memiliki sebuah peradaban ‘pesisir’ yang telah mendapatkan pengaruh agama Hindu. Maka pertanyaan pokoknya adalah bagaimana kebudayaan Banten sebelum masuknya kedua peradaban dunia itu? Kita mengetahui bahwa masyarakat Baduy telah lama dipandang sebagai ‘pewaris budaya’ Banten arkaik; petani ladang yang masih menjalankan praktek pemujaan leluhur dalam konsep Sunda Wiwitan seperti digambarkan Yudistira Garna dalam disertasinya “Orang Baduy” (1987).
Beberapa bukti arkeologis lain telah menunjukkan kekunaan Banten sampai ke masa Prasejarah dengan ditemukannya berbagai alat batu neolitik di pesisir selatan Banten dan juga di situs Odel, Banten Lama. Sedangkan sistem kepercayaannya telah diindikasikan oleh berbagai kompleks bangunan megalitik di pegunungan selatan dan baru-baru ini, sejumlah besar yang dipersepsikan sebagai bangunan pertapaan di lerang Gunung Pulosari, Pandeglang telah diangkat kembali kepentingannya bagi pengenalan dasar-dasar kebudayaan Banten. Keseluruhan sumber data arkeologis itu mestinya mendapat perhatian khusus dalam upaya mengungkapkan fase awal sejarah Banten.
Moh Ali Fadillah