Ceria di September, Berkabut di November?

0
666

DIANTARA 12 bulan dalam setahun, September merupakan bulan paling ramai dibicarakan, mulai dari perkara romantika, lalu teroris, hingga komunis. Di awal bulan dibuka dengan dendang September Ceria milik Vina Panduwinata. Pertengahan bulan, kita dihadapkan pada peringatan tragedi penyerangan teroris atas menara WTC New York yang terjadi pada 9 September 1999. Menjelang penghujung bulan kita berhadapan dengan peringatan 30 September, tanggal yang menyimpan misteri dan ketakutan; memeringati peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 yang lampau.

Saya punya dugaan, bukan tak sengaja Vina Panduwinata dan pencipta lagu itu memberi judul lagunya dengan September Ceria. Karena biasanya pada bulan ini kita mulai memasuki musim penghujan setelah periode awal April hingga akhir Agustus kita diterpa terik mentari di musim kemarau. Dalam liriknya, “dipucuk kemarau panjang/yang bersinar menyakitkan/kau datang menghantar/berjuta kesejukan”, seolah mengharapkan hadirnya kesejukan dan ketenangan seiring datangnya musim penghujan diawal September.

Namun awal yang manis dan penuh harap kedamaian itu kemudian terkoyak saat kita memasuki pekan kedua September. Tahun 1999 lalu terjadi penyerangan teroris dengan cara menabrakkan pesawat berpenumpang warga sipil ke menara kembar World Trade Centre (WTC) New York Amerika. Tragedi ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban manusia. Baik yang meninggal maupun yang luka-luka. Tragedi ini menjadi awal rentetan tragedi lainnya yang menyusul kemudian. Sebagai aksi balas dendam, Amerika kemudian melakukan penyerangan terhadap para pelaku yang disinyalir sebagai kaki-tangan Osama bin Laden; orang yang dianggap berada dibalik tragedi ini. Tak sedikit korban berjatuhan.

Di penghujung September, kita dihadapkan pada peringatan peristiwa penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan atas beberapa petinggi Tentara Nasional Indonesia, yang dilakukan oleh Cakrabirawa, satuan pasukan pengawal presiden yang diduga menjadi organ PKI di lingkungan militer. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 ini kemudian dikenal dengan nama G30S/PKI. Ada banyak versi berkaitan dengan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Masing-masing versi memiliki bukti dan argumentasi yang berbeda.

Satu pendapat mengatakan bahwa tragedi itu didalangi oleh PKI. Pendapat lain mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan upaya kudeta yang direkayasa oleh CIA, dinas intelejen milik Amerika. Dan pendapat lainnya mengatakan bahwa itu merupakan tindakan “coup” terselubung yang dilakukan oleh “oknum” internal Angkatan Darat yang kemudian menjadi rezim penggantinya. Atas beragamnya pendapat ini, maka tak heran bila generasi kini berbeda sikap atas peristiwa itu. Perbedaan cara pandang itu berdampak kepada terpecahnya warga bangsa. Masyarakat seolah terbagi pada beberapa kubu.

Dalam rangka menjaga nasionalisme dan waspada terhadap bahaya laten komunisme, Panglima TNI telah menginstruksikan agar rakyat Indonesia menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Instruksi ini ditanggapi beragam oleh khalayak. Ada yang meresponnya dengan antusias, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan motif dibalik instruksi itu. Kelompok kedua ini mensinyalir bahwa instruksi itu bermuatan politis. Muatan politis dimaksud, tidak terlepas dari konstelasi politik menjelang hajat demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden dua tahun mendatang.

Apalagi instruksi tersebut menjadi rangkaian lanjutan dari statement Panglima TNI sebelumnya. Satu pekan sebelum peringatan G30S/PKI, Panglima TNI menyampaikan statement bahwa atas laporan intelejen kategori A1, dia menemukan ada impor pemesanan senjata sebanyak 5000 pucuk yang dilakukan bukan oleh institusi negara. Statement ini telah direspon oleh Menkopolkam dengan mengatakan bahwa pemesanan senjata dimaksud tidak sebanyak itu dan sudah atas seizin institusi terkait. Kisruh ini oleh Menkopolkam disederhanakan sebagai “hanya kurang koordinasi antar instansi”.
Apalah daya, polemik di level pejabat tinggi negara ini berdampak kepada publik. Publik pun larut terbawa dalam perdebatan ini. Sebagian mendukung dan membenarkan statement Panglima TNI, sebagian lagi ikut meredam suasana dengan mendukung pernyataan Menkopolkam. Hingga kini, belum ada penjelasan versi mana yang dianggap benar. Seolah polemik ini dibiarkan liar dan berharap waktu yang akan menjawabnya.

Beruntunglah setelah September ada Oktober. Lebih beruntung lagi diawal Oktober ada momentum yang dapat menyatukan warga-bangsa sebagai satu kesatuan dengan memeringati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Rakyat bersatu membela Pancasila sebagai dasar negara yang gagal diganti oleh PKI dengan komunismenya. Rasa bersatu sebagai warga-bangsa lebih diperteguh saat kita merayakan bersama peringatan Hari TNI pada setiap tanggal 5 Oktober. Tahun ini, dengan motto “Bersama Rakyat, TNI Kuat”, kita telah menunjukkan bahwa sinergi antara rakyat, tentara, dan pemerintah, merupakan cara terbaik untuk menjaga dan merawat Indonesia dan Pancasila sebagai dasar negara.

September yang penuh intrik sudah berlalu. Oktober kita optimis menjadi bulan yang dapat menyatukan perbedaan. Rentetan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, kemudian peringatan Hari TNI, disusul dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada pekan ketiga, dan di penghujung bulan kita akan merasa bersatu sebagai Indonesia dengan satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, dalam momentum peringatan Sumpah Pemuda.

“Kau singkap tirai kabut di hatiku/kau isi harapan baru untuk menyongsong/harapan bersama”. Lirik lagu September Ceria itu, semoga menjadi pembelajaran bagi kita, agar setiap bulan kita bisa selalu hadir dan bersama sebagai “Indonesia”. Semoga kebersamaan dan optimisme kita sebagai Indonesia ini tidak terkoyak kembali seperti sinyalemen penyanyi Meggy Z yang kembali pesimistik, “Hancur sudah harapanku/pada awal bulan November” dalam lagu Kabut November. Waallahualam.

Penulis : Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Ketua Departemen Budaya
Pengurus Besar Alkhairiyah