Oleh: Kevin Ridho Al-Khudri*

Dewasa ini, penerbitan buku-buku terjemahan Islami semakin gila-gilaan. Di dalam Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia (2006: 31), Abdul Munip mengungkapkan bahwa, dalam era reformasi (yakni tahun 1999 hingga kini), buku-buku terjemahan bahasa Arab menunjukkan fenomena yang luar biasa. Menurutnya, beberapa penerbit baru dengan mengusung “ideologi” tertentu, mulai ikut meramaikan bursa buku terjemahan dari bahasa Arab. Hal itu senada dengan penelitian Syamsuddin (2007) yang menunjukkan bahwa dalam rentang 30 tahun (1970—2000), hanya ada sebanyak 367 judul buku bahasa Arab yang berhasil diterjemahkan dan diterbitkan oleh sejumlah penerbit di Indonesia dan berbanding terbalik dari tahun 2000 – saat ini.

Euforia
Euforia penerbitan buku-buku terjemahan Islami, barangkali dipicu oleh sejumlah masyarakat yang lebih senang membaca versi terjemahan daripada mengecek langsung pada sumber aslinya. Padahal, tidak sedikit dari buku terjemahan itu yang justru dengan tidak bertanggung jawab mengubah dan menginterpretasi isi buku aslinya sesuai kehendak si penerjemah dan penerbit. Biasanya, paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi penerjemah dan penerbit akan dimanipulasi sedemikian rupa untuk mengelabui pembaca awam.Tentu saja hal ini merupakan distorsi terhadap ilmu pengetahuan.

Ada banyak sekali penerbit kedapatan melakukan tindakan tak terpuji tersebut, seperti Pustaka Al-Kautsar, Pustaka Azzam, dan Pustaka Imam Syafi’i. Dengan kedok tujuan mulia, mereka mendistribusikan terjemahan buku-buku klasik karya para ulama yang sudah dimanipulasi dan dipalsukan. Padahal, boleh jadi hal itu termasuk tindak pidana karena telah memalsukan suatu karya atas nama orang tertentu kemudian menyebarkannya. Sayangnya, belum ada regulasi jelas untuk menindak dan mengatasi fenomena tersebut.

Salah satu buku yang mendapatkan pemalsuan secara terang-terangan adalah Manaqib Imam Asy-Syafi’i karya Fakhruddin al-Razi yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada November 2017. Buku tersebut diterjemahkaan oleh Andi Muhammad Syahril, Lc. serta disunting oleh Muhamad Yasir, Lc. dan Dudi Rosyandi, Lc., dengan jumlah 330 halaman.

Sumber asli yang digunakan oleh penerjemah adalah buku dengan judul sama yang disunting oleh Abdul-Wahed Al-Shafi’i dan diterbitkan oleh Dar al-Kotob al-Ilmiyah di Beirut, Libanon, pada tahun 2015 Masehi atau 1436 Hijriah, dengan jumlah 360 halaman.

Dalam versi terjemahan, ditemukan banyak sekali bagian yang dihapus oleh penerjemah, dari mulai hal-hal yang sepele (dan mungkin dianggap tidak terlalu berarti), hingga hal-hal yang sangat esensial dan krusial. Selain itu, penerjemah acap kali menyusupkan prinsip dan pemikirannya sendiri dalam karya al-Razi tersebut. Hal itu tecermin dari sejumlah bagian yang dihilangkan, serta sejumlah penambahan tidak perlu yang dibubuhkan dengan tidak bertanggung jawab. Bahkan, kesalahan penerjemahan telah menjadi hal yang umum ditemukan di setiap halamannya.

Penyimpangan Makna
Salah satu kesalahan penerjemahan yang mengakibatkan penyimpangan makna terjadi pada kata “gulāmun” yang diterjemahkan sebagai anak laki-laki merdeka di semua tempat. Padahal, kata tersebut lebih banyak digunakan untuk menyebut seorang budak laki-laki, khususnya ketika momen perdebatan antara Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Syaibani bersama Imam Syafei (h. 52), serta hubungan Khalifah Harun al-Rasyid dengan gulam yang dititahnya mengikuti Imam Syafei (h. 51).

Di bagian lain, penerjemah juga tidak dapat membedakan antara sultan dan khalifah dengan menerjemahkan kata “sultan” menjadi “khalifah” (h. 41). Barangkali hal itu didasarkan pada kisah yang dibahas adalah terkait cobaan penguasa terhadap Imam Syafei. Bila melihat buku-buku sejarah yang kredibel, setidaknya Imam Syafei mengalami tiga kali ujian hidup.

Pertama saat di Yaman karena dituduh Syiah oleh gubernur, kedua di Bagdad dan berhadapan dengan khalifah beserta dua murid Imam Abu Hanifah, ketiga di Mesir karena kedengkian para murid Imam Malik. Dalam hal ini, penerjemah sepertinya hanya tahu kisah yang kedua, sementara dua kisah lainnya luput dari perhatian dan pengetahuannya.

Namun, apabila melihat kisah yang disebutkan di halaman terkait, Imam Syafei sedang berkonflik dengan pengikut Imam Malik. Maka, kejadian tersebut tentu saja ketika Imam Syafei sudah berada di Mesir. Terkait sultan yang dimaksud di dalam kisah adalah sultan atau gubernur Mesir yang berkuasa pada masa itu, bukan khalifah Abbasiah. Hal itu dikuatkan oleh ungkapan al-Razi di sumber aslinya dengan mengganti kata “sultan” yang disebutkan sebelumnya menjadi “wali”. Namun, penerjemah mengulangi kesalahannya dengan menerjemahkan kata “wali” menjadi khalifah (h. 42). Kesalahan ini menunjukkan betapa dangkalnya informasi sejarah yang dimiliki oleh penerjemah.

Hal yang juga menjadi permasalahan yang sangat serius adalah ketidakpahaman penerjemah atas fikih mazhab Syafei. Buku tersebut merupakan biografi Imam Syafei, tentu di dalamnya memuat sejumlah informasi terkait fikih dan tata cara pengambilan hukum dalam mazhab Syafei. Akan tetapi, karena penerjemah tidak memahami hal itu, ia kebingungan ketika al-Razi mengutip ungkapan Imam Syafei dari kitab al-Aimān (yang sebenarnya ada di kitab al-Umm). Alhasil, penerjemah hanya menuliskan “Imam Syafei menyebutkan dalam kitabnya” (h. 74) tanpa menyebutkan sumber kitab yang dimaksud sebagai informasi rujukan yang jelas kepada pembaca.

Ketika membaca lebih lanjut di halaman terkait, ternyata bukan hanya masalah nama kitab yang tidak disebutkan. Di sana, penerjemah menjadi sesat pikir ketika memaknai masalah sumpah atas nama selain Allah. Pembahasan tersebut tentu sangat masyhur di dalam mazhab Syafei, bahwa sumpah atas nama Ilmu Allah dengan maksud apa yang diketahui oleh Allah, tidak wajib membayar kafarat.

Namun, bila sumpah atas nama Ilmu Allah dengan maksud bahwa itu salah satu sifat Allah, maka wajib membayar kafarat. Akan tetapi, penerjemah dengan kecerobohannya menghukumi rata keduanya. Ia menuliskan, “bersumpah dengan ilmu Allah dan kekuasaan Allah, maka orang yang melakukannya harus membayar kafarat karena ia sama saja bersumpah dengan selain Allah” (h. 74). Ini tentu saja kedustaan dan pemalsuan atas nama Imam Syafei, serta ceteknya pemahaman penerjemah atas fikih Syafei.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu dua buku yang diterbitkan oleh satu dua penerbit. Hal ini sudah seperti tren modern yang tidak terbendung. Apabila fenomena ini terus berlanjut, maka khazanah ilmu pengetahuan Islam akan terancam rusak dan menyimpang. Telah disinggung sebelumnya, bahwa masyarakat awam lebih sering membaca buku-buku terjemahan daripada merujuk pada sumber aslinya. Apabila hasil terjemahan yang ada sekarang lebih banyak distorsi dan penyimpangan, maka secara tidak sadar masyarakat akan tergiring dan terdoktrin ke dalam ilmu pengetahuan yang menyimpang dan jauh dari koridor yang sepatutnya. Ini adalah bencana.

Solusi
Solusi paling konkret yang bisa dilakukan adalah pembentukan tim khusus dari para pemangku kebijakan dan cendekiawan agama, untuk menyeleksi buku-buku terjemahan sebelum diedarkan kepada masyarakat tentu di samping pengawasan terhadap buku-buku lokal. Hal itu demi terjaganya karya-karya ulama klasik dari tangan-tangan pendusta dan pemalsu, serta terpeliharanya pemahaman pembaca dari campur tangan penerjemah yang licik.

Selain itu, para pemangku kebijakan dan cendekiawan agama (dalam hal ini, termasuk di dalamnya Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia) bisa menentukan persyaratan dan kriteria khusus untuk penerjemah buku-buku Islami. Tujuannya adalah agar otoritas keilmuan penerjemah telah teruji dan selaras dengan buku yang diterjemahkannya. Harapannya, fenomena penerjemah yang hanya mampu menerjemahkan secara harfiah tanpa menguasai bidang keilmuan buku yang diterjemahkannya (seperti fikih mazhab, sejarah Islam, dan akidah) bisa dihindari.

Bahkan, melihat fenomena yang ada, bisa dikatakan bahwa pentashihan buku terjemahan oleh para ahli merupakan hal yang sangat mendesak dan tidak kalah penting dibanding pentashihan Al-Qur’an.***

*Peserta Pelatihan Kader Muda Ulama MUI Provinsi Banten 2023