Masa Depan Pemilukada Pasca Pandemik

0
245

Muhadam Labolo

SESUAI jadwal, Pilkada Serentak 2020 rencananya akan digelar pada 9 Desember, setelah sebelumnya 23 September 2020. Kompromi ini mungkin bukan last decision, bergantung back up anggaran, statistik Covid 19, prediksi partisipasi publik, mekanisme pilkada di masa corona, serta dinamika publik yang direpresentasikan oleh wakil rakyat di Senayan.

Soal dukungan logistik pilkada, kita paham bahwa hampir semua pos anggaran di pusat dan daerah telah mengalami optimalisasi hingga berkali-kali dengan alasan refocusing anggaran terkait Covid-19. Sebanyak lebih Rp 405 triliun didistribusikan pada aspek perlindungan kesehatan, stabilisasi lapangan kerja, serta jaring pengaman sosial. Itu artinya pemerintah serius mengutamakan keselamatan publik dibanding kegiatan lain.

Persoalannya, apakah demokrasi yang diwujudkan melalui pilkada sama pentingnya dengan keselamatan publik? Tergantung kapan demokrasi dibutuhkan dan kapan demokrasi dikecualikan, namun untuk alasan keselamatan publik, semua reasoning apapun menjadi tak begitu penting lewat prinsip solus populi suprema lex. Maknanya bila kondisi suatu negara dalam keadaan relatif normal tanpa ancaman bahaya alam maupun non alam, demokrasi menjadi soal penting. Dalam perkara memilih pemimpin misalnya, manusia butuh ruang bagi ekspresi aktualisasi diri bila persoalan perut dan keselamatan jiwa terpenuhi. Demikian tekanan Abraham Maslow dalam psikologi humanistik dan hierarki kebutuhan manusia (1996).

Jadi, jangan bicara actualization need semisal mencalonkan diri sebagai pemimpin bila basis kebutuhan primer, sosial dan safety individu masih dalam situasi mencemaskan. Dampaknya tentu bisa dibayangkan, probabilitas demokrasi terancam kehilangan mutu, yang tersisa hanya formalitas kertas suara, minim partisipasi, serta lahirnya kandidat pemimpin lokal dengan tingkat legitimasi yang rendah.

Masalah krusial kedua dan utama tentu berkaitan dengan perkembangan Covid-19. Sejauh ini, Indonesia masih berada di rangking teratas angka infeksi Covid-19 dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Sesuai data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hingga 4 Juni 2020, angka infeksi mencapai 28.818 jiwa dengan 1.721 kematian. Mirisnya, angka kenaikan infeksi Covid-19 justru meningkat di daerah-daerah tertentu setelah kota-kota besar seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Jika tren tersebut terus menanjak tanpa indikasi penurunan signifikan dalam beberapa bulan ke depan, kita dapat memproyeksikan bahwa kemungkinan angka infeksi Covid-19 akan mengalami sebaran dengan titik didih di daerah hingga akhir tahun 2020. Apalagi jika pemerintah daerah seperti NTT menganggap bahwa ancaman kelaparan bagi masyarakatnya jauh lebih membahayakan dibanding wabah pandemik itu sendiri. Dengan perbedaan pemahaman tersebut dapat dipahami mengapa angka infeksi Covid-19 meningkat, serta pola kebijakan yang diambil daerah bervariasi. Sebagai contoh, ketika pemerintah menerapkan kebijakan new normal, interpretasi daerah bisa menjadi berwarna-warni seperti pembatasan yang memasuki fase transisi (DKI Jakarta), atau pembatasan yang bersifat proporsional (Jawa Barat). Kesumiran narasi terhadap batasan new normal dengan segala implikasinya mengakibatkan apa yang disampaikan (to say), kurang detil dijelaskan (to explain), sehingga mencipta ragam terjemahan (to multy interpretation). Ini tidak saja soal miskomunikasi politik dalam kacamata hermenetik juga berkenaan dengan alasan otonomi daerah. Atas realitas itu maka sulit membayangkan pilkada dapat diterapkan di sejumlah daerah yang berada di red zone Covid-19 karena perbedaan kebijakan di tingkat lokal. Ini tidak saja dapat menghambat mobilitas pemilih, juga secara moral memperlihatkan ketidakkonsistenan pemerintah daerah dan pusat dalam hal melindungi keselamatan publik di satu sisi, tetapi membiarkan kerumunan atas nama demokrasi di sisi lain.

Dampak dari sesaknya aturan pusat dan daerah yang berseliweran bukan saja memperjelas apa yang mesti dilakukan pemilih, yang mungkin terjadi justru menebalnya sikap antipati sebagaimana gejala saat ini dimana masyarakat lebih berani menembus barikade demi menstabilkan ekonominya ketimbang memikirkan ancaman Covid-19. Sejalan dengan itu dapat diterka pula bahwa tingkat partisipasi politik dalam pilkada bisa berada di bawah 40 persen kecuali money politics dianggap halal dengan tujuan agar masyarakat berkenan ke TPS memberikan suara. Bila tidak, angka partisipasi politik akan jauh di bawah itu sekalipun mekanisme demokrasi di tingkat lokal bersifat simple majority. Dalam konteks semacam itu demokrasi tak lebih dari sekedar asal jadi, asal terpilih, asal terserap, dan asal selesai. Ini kemungkinan bentuk demokrasi baru, demokrasi asal-asalan.

Ancaman berikutnya yang bisa dibayangkan adalah ekses tata kelola pilkada itu sendiri, di mana kerumunan pemilih pada sejumlah tahapan tidak saja menjadi ancaman bagi keselamatan pemilih, demikian pula petugas KPPS di berbagai tingkatan. Semua yang bersentuhan mesti dipastikan steril jika kita tak ingin meregang nyawa demi alasan tegaknya demokrasi di tengah pandemik. Perbedaan geografis, penggunaan logistik, kerumunan sosial yang mesti diatur sesuai standar protokol Covid-19 sudah merupakan kesulitan tersendiri di luar ancaman kematian. Kalaupun terdapat kurang lebih 60 negara di dunia yang tetap melaksanakan pemilu, itupun dengan standar protokol yang ketat selain penggunaan teknologi digital semacam e-vote. Bila ini dapat disiapkan, maka pilkada di Indonesia akan jauh lebih safety, healty, efisien, dan efektif.

Terakhir, kalaupun pilkada dilaksanakan sesuai jadwal akhir tahun ini, pemerintah perlu menyiapkan strategi guna membangun dukungan mayoritas dengan tidak hanya bersandar pada hasil sampel petisi, juga dukungan kuat wakil rakyat di Senayan, DPR dan DPD RI. Hal ini penting agar pilkada tidak saja membutuhkan dukungan biaya, juga secara politik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Ke depan, ada baiknya diperbincangkan kembali mekanisme demokrasi yang lebih menjamin terlindunginya masyarakat dari efek kerumunan, rendah konflik, efisien, efektif, serta tak membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang panjang. Misalnya saja, wacana pemilukada tak langsung melalui wakil-wakilnya di DPRD. Inilah masa depan pemilukada pasca pandemik jika tak ingin ditunda, atau boleh dikatakan pilkada era new normal.

*) Penulis merupakan Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN dan juga penulis sejumlah buku bertema pemerintahan, politik hingga kepemimpinan. Berbagai tulisannya bisa diakses melalui blog Perspektif Pemerintahan http://muhadamlabolo.blogspot.com.