Berangkat dari Krisis Politik
BERMULA menempati puing ibukota Banten Girang di bagian hulu Cibanten, pusat kekuasaan politik Islam Jawa yang lebih dikenal dengan Surosowan, kemudian dipindahkan ke delta Cibanten sekitar 1526. Manuskrip Babad Banten memberi kita kesaksian singkat dengan mengisahkan kembali bagaimana kota Banten dibangun oleh Maulana Hasanuddin dan diperkokoh oleh penggantinya, Maulana Yusuf.
Peristiwa itu demikian penting untuk dikenang, dan kemudian dituangkan ke dalam sebaris kalimat “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis”, mengesankan kita pada sebuah struktur permanen di jantung kota Banten, yang lengkap dengan berbagai simbol kebesaran sebuah monarki Islam. Tetapi tahukah, bahwa setelah mengalami tiga kali suksesi yang nyaris tanpa ‘keributan’, pada tahun 1596 sejarah Banten mengalami beberapa ‘tikungan tajam’ dari perjalanan siklus waktu yang disebut Dr. John N. Miksic, dalam artikelnya “Artifact, Monument and Urban Site Restauration″, dalam Final Report, Seminar on Historical Sites of Banten (1986) sebagai periode ‘kejayaan berfluktuasi’. Lantas, apakah ini yang disebut golden age yang semu.
Maka dengan meneropong lebih dekat lagi bentang waktu itu, tampaknya memang, entitas kekuasaan Islam Banten sedang berada dalam situasi krisis, yang ternyata berlangsung selama hampir tiga dasawarsa (1596 – 1624). Sayangnya, episide-episode penting itu tidak terlalu jelas digambarkan dalam Babad Banten seperti tampak pada edisi teks Djajadiningrat (1913). Bahkan terkesan, sang penulis kronik selalu berusaha meminimalkan aspek-aspek konfliktual ketika menyajikan fragmentasi peristiwa sejarah Banten dalam bentuk tembang Jawa madya itu.
Berbeda halnya dengan sumber-sumber Eropa, sebut misalnya dalam Williams Lodewijcksz, D’Eerstre Boeck (1598) yang kemudian diterbitkan kembali oleh Rouffaer & Ijzerman dalam De Eerste Schipvaart (1915), serta arsip-arsip VOC (Dagh Register) dan East India Company (East India Records), banyak kesaksian orang-orang Belanda pertama yang datang ke pelabuhan Banten, disusul oleh para pedagang Inggris dan juga Denmark, telah mencatat detil-detil peristiwa yang mengungkapkan betapa krisis kekuasaan senantiasa melanda negeri itu, baik dipicu oleh masalah suksesi maupun campur tangan asing terhadap simbol-simbol otoritas Banten.
Dengan konvergensi bukti sejarah itu, sejarawan Perancis Dr. Claude Guillot (1992) dengan yakin menyatakan bahwa Banten selama tiga puluh tahun harus mengalami apa yang disebutnya la guerre civile (perang sipil) karena benturan dua kelompok elit untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing. Di satu pihak para ‘birokrat’ mempertaruhkan hidupnya bagi kepentingan kekuasaan politik dan di lain pihak para ‘teknokrat’ selalu berupaya melakukan intervensi atas otoritas politik bagi kepentingan perniagaan. Akibat dari perang sipil tersebut, Banten tidak mampu menghindar dari krisis ekonomi, yang kemudian berlanjut ke arah krisis sosial.
Baca Juga Edisi Sebelumnya : (Mengenang Sultan Ageng Tirtayasa Edisi 1, Idola Dr. Joko Munandar)
Penulis : Moh Ali Fadillah