Rahasia Debus Banten (Edisi 2)
Visi Kultural vs Mental Purification
PERSOALAN substantif tentang debus tak sesederhana yang dibayangkan orang. Sejumlah elit agama, secara diam-diam atau terbuka, mulai (sesungguhnya sejak lama) mengusik debus dari perspektif metafisik. Inti masalahnya bukan pada debus sebagai atraksi kesenian tetapi karena adanya proses pencarian kekuatan spiritual untuk mendukung kekebalan tubuh (invulnerability). Dari sudut pandang itulah kemudian timbul anggapan bahwa debus mengandung “pemujaan roh”. Anggapan itu kerap membuat orang memposisikan debus di luar dogma agama.
Mengulas debus dari sudut pandang teologis, tentu akan menambah persoalan menjadi sensitif, karena bukan cuma berhadapan dengan wacana metafisik tetapi juga sudah memasuki wilayah aqidah. Kegelisahan kita selalu ingin mengetahui: apakah kekuatan spiritual dalam debus berasal dari energi ilahiah atau energi lain berkategori makhluk? Dalam kasus ini, mentransfer kekuatan dari makhluk tertentu bisa ditafsirkan menyekutukan Tuhan. Tetapi inti pertanyaan bukan pada soal syirik atau bukan syirik, melainkan pada segi metodologis, apakah ada pendekatan logis untuk menguji tingkat aqidah seseorang sementara substansi keimanan berada pada wilayah emosi keagamaan yang sangat individual. Maka menjadi sebuah keharusan melihat debus tidak semata-mata secara fungsional tetapi juga dalam konteks struktural.
Jika kembali pada ambiguitas itu, sesungguhnya debus memiliki dua kepentingan. Dari sudut pandang estetika, ia tak lebih daripada produk kesenian. Namun dengan kategori itupun debus masih dipertanyakan sebagai an art is the art. Dari sudut pandang agama, debus tidak semata-mata merupakan inisiasi religius, tetapi juga mengandung unsur-unsur mistik. Lantas bagaimana kita sekarang memahami debus dari kedua sudut pandang itu? Agaknya bukan soal mudah, karena aspek pertama didasari oleh visi kultural yang menghendaki seni sebagai identitas budaya, sedangkan yang kedua lebih didasarkan pada praktek keagamaan yang diorientasikan pada mental purification.
Memilih kedua pendekatan itu untuk mengungkapkan “rahasia” debus membawa konsekuensi teoretis-metodologis. Tetapi sebelum semua menjadi jelas, bukankah penting melakukan serangkaian kajian awal atas fenomena budaya Banten itu. Maka, mencoba memahami permainan debus dari perspektif hagiologi, barangkali akan memungkinkan kita melihat tabir rahasia elmu debus itu secara arif. Dalam hal ini, membicarakan debus tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan proses internalisasi Islam dan adaptasinya dalam dimensi sosial dan budaya.
Sebuah peluang terbuka bagi para akademisi untuk memasuki ranah itu dari perspektif ilmiah. Suatu seri penelitian tingkat doctoral telah digagas dan dilakukan oleh seorang sarjana Perancis,
Gabriel Facal. Pintu risetnya diawali dari asal-usul silat di daerah Banten yang demikian fenomenal dan massif. Bersyukurlah masyarakat Banten, berkat penelitiannya, kepustakaan silat di Banten semakin bertambah. Dengan judul “Keyakinan dan Kekuatan, Seni Bela Diri Silat Banten”, dapat menarik minat para peneliti muda untuk menambah pengetahuan dan memahami identitas budaya Banten melalui silat, salah satu unsur penguat dari latihan debus.
Ditulis oleh : Moh Ali Fadillah
Baca Juga : Rahasia Debus Banten (Edisi 1)